Peningkatan
Perilaku Moral Melalui Metode Bercerita (Penelitian Tindakan Pada PAUD Anak Bangsa Kota Serang, Tahun 2014)”
(Nopiana, 211191)
A.
Konsep
Penelitian Tindakan
Penelitian
Tindakan Kelas (PTK) atau Classroom
Action Research merupakan suatu model penelitian yang dikembangkan di
kelas. Mengutip dari Arikunto, Penelitian Tindakan Kelas diuraikan sebagai
berikut:
Penelitian
– menunjuk pada suatu kegiatan mencermati suatu objek dengan menggunakan cara dan
aturan metodologi tertentu untuk memperoleh data atau informasi yang bermanfaat
dalam meningkatkan mutu. Tindakan – menunjuk pada sesuatu gerak kegiatan yang
sengaja dilakukan dengan kondisi tertentu. Dalam penelitian berbentuk rangkaian
siklus kegiatan untuk siswa. Kelas – dalam hal ini tidak terikat pada
pengertian ruang kelas, tetapi dalam pengertian yang lebih spesifik, yaitu:
sekelompok siswa dalam waktu yang sama, menerima pelajaran yang sama dari guru
yang sama pula.
Penelitian
Tindakan menurut Lewin adalah suatu rangkaian langkah yang terdiri atas empat
tahap, yakni perencanaan, tindakan, pengamatan dan refleksi.
Menurut
Ebbut dalam Hopkins, penelitian tindakan adalah kajian sistematik dari upaya perbaikan
pelaksanaan praktik pendidikan oleh sekelompok guru dengan melakukan
tindakan-tindakan dalam pembelajaran, berdasarkan refleksi mereka mengenai
hasil dari tindakan-tindakan tersebut.Sedangkan menurut
Carr& Kemmis, penelitian tindakan kelas adalah suatu bentuk penelitian
refleksi diri kolektif yang dilakukan oleh peserta-pesertanya dalam situasi
sosial untuk meningkatkan penalaran dan keadilan praktik pendidikan dan praktik
sosial mereka serta pemahaman mereka terhadap praktik-praktik mereka dan
terhadap situasi tempat praktik-praktik tersebut dilakukan.
Sedangkan
menurut Bogdan & Biklen dalam Burns, penelitian
tindakan merupakan pengumpulan informasi yang sistematis yang dirancang untuk
menghasilkan perubahan sosial. Menilik pada pengertian di atas, maka
kegiatan Penelitian Tindakan terkait dengan persoalan praktek pembelajaran
sehari-hari yang dihadapi oleh guru. Dalam penelitian tindakan ini, guru
menjalankan metode pembelajaran terkendali yang berdaur ulang dan bersifat
reflektif, dengan tujuan untuk melakukan perbaikan-perbaikan terhadap pola dan
metode pendidikan yang akan dijalankan di PAUD Anak Bangsa.
Penelitian
tindakan kelas memiliki empat tahap yaitu Planning
(rencana), Action (tindakan), Observation (pengamatan) dan Reflection (refleksi). Berikut
tahapan-tahapan yang akan dilakukan dalam meningkatkan perilaku moral anak usia
dini:
Rencana
merupakan tahapan awal yang dilakukan sebelum melakukan penelitian. Untuk
menyusun rencana penelitian tindakan ini, diadakan diskusi dengan para guru
untuk membangun suatu kesamaan persepsi tentang pembelajaran karakter dan
merancang tujuan dan pola pembelajaran yang fleksibel untuk menerima efek-efek
yang tak terduga;dengan perencanaan yang baik diharapkan para guru akan lebih
mudah untuk mengatasi kesulitan dan bertindak lebih efektif.
Tindakan
merupakan penerapan dari perencanaan yang telah dibuat. Tindakan yang dilakukan
berupa penerapan dari metode bercerita yang telah dirancang untuk memperbaiki
atau menyempurnakan metode yang dijalankan di PAUD Anak Bangsa. Tindakan
dilakukan dengan beberapa kali aksi (pertemuan) oleh para murid yang terlibat
langsung dalam pelaksanaan kegiatan bercerita yang hasilnya akan dipergunakan
untuk menyempurnakan metode bercerita yang dilaksanakan di lembaga PAUD.
3.
Observation (Pengamatan)
Pengamatan/observasi
berfungsi untuk melihat dan mendokumentasikan pengaruh-pengaruh yang
diakibatkan selama tindakan metode bercerita berlangsung dalam kegiatan di
kelas TK B. Pengamatan yang dilakukan menceritakan keadaan yang sesungguhnya
sehingga hasil pengamatannya dapat menjadi dasar dilakukannya refleksi. Dalam
pengamatan, hal-hal yang perlu dicatat oleh peneliti adalah proses dari
tindakan, efek-efek tindakan, lingkugan dan hambatan-hambatan yang muncul.
Refleksi
meliputi: kegiatan analisis, sintesis, penafsiran (interpretasi), menjelaskan
dan menyimpulkan. Para guru yang terlibat akan menganalisa hasi dari observasi
sebagai refleksi untuk menentukan diadakannya revisi yang dapat dipergunakan
untuk memperbaiki kinerja guru pada pertemuan selanjutnya sebagai planning
(perencanaan) untuk siklus berikutnya.
1. Hakikat Perilaku Moral Anak Usia Dini
a. Pengertian Perilaku Moral
Anak
dinilai baik dan tidaknya dapat dilihat dari bagaimana perilaku anak dalam
kehidupan sehari-hari. Setiap anak ingin memiliki perilaku yang baik dan
menyenangkan, hal ini disebabkan karena anak sebagai makhluk hidup ingin
diterima oleh lingkungan sekitarnya. Lingkungan akan sangat menentukan perilaku
anak sehari-hari. Apabila anak hidup di lingkungan yang baik maka perilakunya
kemungkinan baik, dan apabila anak hidup di lingkungan yang buruk, maka
perilaku burukpun akan mempengaruhinya, karena pada dasarnya anak akan
mencontoh dari setiap perilaku yang dilihatnya.
Watson
berpendapat bahwa perilaku adalah merupakan tanggapan atau balasan tentang
rangsangan karena rangsangan dapat mempengaruhi perilaku, jadi setiap perilaku
ditentukan atau diatur oleh rangsangan.
Perilaku baik dan tidak baik yang muncul pada manusia ditentukan oleh rangsangan
yang diterima.
Menurut
Skinner dalam teori operan conditioning mengemukakan perilaku adalah
keteraturan (behavior is lawful).
Skinner beranggapan bahwa manusia mampu melakukan tindakan-tindakan atas
inisiatif sendiri dalam lingkungannya, bukan sebagai objek dan relatif pasif.
Namun demikian, hal ini lingkungan mempunyai posisi yang lebih kuat, karena
lingkungan menyediakan penguatan atau pengukuhan (reinforcement).
Martin dan Pear berpendapat “behavior is anything that a person says or
does”. Bahwa
perilaku adalah apapun yang dikatakan atau dilakukan oleh seseorang. Dengan
kata lain perilaku akan terjadi apabila ada sesuatu yang diperlukan untuk
menimbulkan reaksi atau disebut rangsangan. Rangsangan tertentu akan
menghasilkan reaksi atau perilaku tertentu.
Menurut
J.B.
Watson perilaku adalah merupakan tanggapan atau balasan (respon) tentang
rangsangan (stimulus) karena rangsangan dapat mempengaruhi perilaku ditentukan
atau diatur oleh rangsangan.
Berdasarkan pengertian perilaku yang
telah diuraikan di atas dapat disimpulkan bahwa perilaku merupakan reaksi
individu terhadap lingkungannya. Reaksi atau perilaku itu terjadi karena ada
rangsangan, dan rangsangan tersebut akan menghasilkan reaksi atau perilaku
tertentu.
Sedangkan
moral berasal dari kata latin “mos” (moris) yang berarti adat, kebiasaan atau
peraturan-peraturan/nilai-nilai atau tata cara kehidupan.
Pengertian ini dapat didefinisikan bahwa moral merupakan suatu adat kebiasaan,
atau kaidah peraturan.
Yakub
menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan moral ialah sesuai dengan ide-ide yang
umum diterima tentang tindakan manusia mana yang baik dan wajar. Jadi sesuai
dengan ukuran tindakan-tindakan yang oleh umum diterima, yang meliputi kesatuan
sosial atau lingkungan tertentu.
Berdasarkan
pernyataan tersebut dapat didefinisikan bahwa moral adalah perbuatan baik yang dilakukan dalam suatu masyarakat
tertentu. Dalam moral diatur segala perbuatan yang tidak baik dan perlu
dihindari. Moral merupakan kendali untuk membedakan antara perbuatan baik dan
salah, juga merupakan kendali dalam bertingkah laku.
Menurut
Gunarsa perkembangan moral seseorang bersangkut paut dengan bertambahnya
kemampuan menyesuaikan diri terhadap aturan-aturan atau kaidah-kaidah yang ada
dalam lingkungan hidupnya atau yang ada dalam masyarakat.
Pengertian ini dapat diartikan bahwa seseorang dikatakan telah mengembangkan
aspek moral apabila orang tersebut telah menginternalisasikan atau telah
mempelajari kaidah-kaidah atau aturan-aturan kehidupan di dalam masyarakat dan menjadi sebuah kebiasaan.
Sehubungan
dengan pengertian moral di atas maka, Nasution mengemukakan moral sebagai
seperangkat nilai-nilai, standar atau perinsip yang diterima baik dalam konteks
kultural tertentu.
Pengertian tersebut menekankan bahwa moral terdiri dari nilai-nilai atau
prinsip-prinsip yang disepakati oleh suatu masyarakat yang tinggal di wilayah
tertentu. Dengan demikian nilai-nilai atau prinsip-prinsip yang ada di suatu
masyarakat yang tinggal di wilayah tertentu merupakan standar nilai yang harus
dipatuhi. Jika seseorang melanggar nilai-nilai baik yang berlaku di masyarakat
maka perbuatan orang tersebut dinyatakan tidak bermoral. Sedangkan menurut
Ratna Megawangi,
moral adalah pengetahuan seseorang terhadap hal baik dan buruk.
Pengertian
moral menurut Walker & Pitts yang dikutip dalam Santrock dikatakan bahwa:
Moral development involves age related
thoughts, feelings, and behaviors regarding rules, principles, and value that
guide what people should do. Moral development has an interpersonal dimensions
(a person’s basic values and sense of self) and an interpersonal dimension (a
focus on what people should do in their interactions with other people).
Pernyataan
ini dapat diartikan bahwa perkembangan moral melibatkan pemikiran yang terkait
dengan usia, perasaan, dan perilaku menurut peraturan, prinsip dan nilai yang
menuntun apa yang seharusnya orang lakukan. Perkembangan moral mempunyai
dimensi interpersonal tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh seseorang
dalam berinteraksi dengan orang lain. Moral juga adalah hal yang mendorong
manusia untuk melakukan tindakan yang baik secara kewajiban atau norma. Moral
juga dapat diartikan sebagai sarana untuk mengukur benar tidaknya atau baik
tidaknya tindakan manusia.
Manusia
selalu berinteraksi dengan lingkungannya, baik di keluarga, sekolah, maupun di
masyarakat. Setiap lingkungan dimana manusia berinteraksi di dalamnya terdapat
nilai-nilai moral. Eyre menyatakan sebagai standar-standar perbuatan dan sikap
yang menentukan siapa kita, bagaimana kita hidup, dan bagaimana kita
memperlakukan orang lain.
Berdasarkan hal ini maka dapat dikemukakan bahwa nilai-nilai moral adalah
seperangkat standar perbuatan dan sikap seseorang ketika berinteraksi di dalam
kehidupannya baik dengan dirinya maupun orang lain.
Perilaku
moral pada anak tidak stabil, cenderung berubah sesuai dengan bertambah luas
ruang lingkup sosial anak. Luasnya lingkungan pergaulan membuat anak belajar
memahami akan sebuah makna dan aturan dalam suatu keadaaan. Melalui nilai-nilai
moral dalam kehidupan sehari-hari akan membawa dampak perilaku positif bagi
kehidupan anak-anak di lingkungan tempat tinggalnya. Anak akan memahami tentang
nilai moral berdasarkan pengamatan dan perhatiannya yang dilihat dari orang
orang dewasa sekitarnya. Berdasarkan pemaparan di atas maka dapat disimpulkan
bahwa perilaku moral adalah reaksi
individu dalam kehidupan sehari-hari yang berkembang berdasarkan lingkungannya.
Melalui nilai-nilai moral dalam kehidupan sehari-hari akan membawa dampak yang
positif terhadap sikap anak di lingkungan tempat tinggalnya.
Morality is a system of beliefs, values
and underlying judgement about the rightness of acts. One function is to enure
that individuals will act to keep their obligation to others in the society and
behave in ways that do not interfere with the right and interest of others.
Pengertian
dari moral di atas dapat diartikan bahwa moral merupakan suatu sistem kepercayaan, nilai-nilai dan penilaian yang
mendasari tentang kebenaran tindakan. Satu fungsi adalah untuk memastikan bahwa
individu akan bertindak untuk menjaga kewajiban mereka kepada orang lain dalam
masyarakat dan berperilaku dengan cara yang tidak menganggu hak dan kepentingan
orang lain.
Sedangkan
menurut William Damon, “Morality is a
fundamental, natural, and important part of children’s lives from the time of
their first relationships.”
Berdasarkan beberapa pengertian dari
para tokoh di atas, peneliti menyimpulkan bahwa perilaku moral adalah bentuk
tanggapan yang tercermin dalam tindakan dan didasari oleh kemampuan dasar pada
bagian awal kehidupan yang mana meliputi sistem kepercayaan, penghargaan, dan
ketetapan serta prosesnya terjadi di alam bawah sadar yang tercermin dalam tindakan
yang benar dan yang salah serta sesuai dengan ide-ide umum diterima tentang
tindakan manusia yang dinilai baik dan wajar.
b. Tahap-Tahap Perkembangan Moral
Dalam
perkembangan moral terdapat beberapa tahapan-tahapan yang akan dilalui oleh
anak dalam mencapai kematangan moral selama masa kehidupannya. Menurut Piaget,
tahap perkembangan moral terjadi dalam dua tahapan, yaitu tahapan tahapan
realisme moral dan nilai-nilai moral otonomi.
Pengertian ini dapat didefinisikan bahwa dalam tahapan realisme moral perilaku
anak dilakukan karena pembatasan oleh orang dewasa sedangkan tahapan
nilai-nilai moral otonomi perilaku anak didasari pada kerjasama atau hubungan
timbal balik dimana anak berada.
Nilai-nilai moral dilakukan oleh anak akibat
adanya pembatasan-pembatasan yang dilakukan oleh orang dewasa. Pada tahap ini
perilaku anak ditentukan oleh orang dewasa. Pada tahap ini perilaku anak
ditentukan oleh: 1)ketaatan otomatis terhadap aturan tanpa paksaan, penilaian,
dan pemahaman; 2)anak mengikuti begitu saja apa yang diinginkan dan diharapkan
oleh orang dewasa, mereka mengabaikan tujuan atas tindakannya. Contohnya di
sekolah ditetapkan peraturan untuk menggunakan seragam sekolah, ketika anak
menggunakan pakaian biasa ke sekolah maka dianggap sebagai sebuah pelanggaran.
Anak yang melanggar akan terkena sangsi atas perbuatan yang dilakukannya. Anak
melihat contoh suatu tindakan yang dianggap salah karena mengakibatkan ia
dihukum.
b)
Tahap Nilai-Nilai Moral Otonomi
Nilai-nilai
moral oleh adanya kerjasama atau hubungan timbal balik dengan lingkungan dimana
anak berada. Pada tahap ini perillaku anak ditentukan oleh: 1)anak menilai
perilaku atas tujuan yang mendasarinya; 2)dimulai pada usia 7-12 tahun;
3)konsep anak tentang keadilan mulai berubah yang dilihat dan ditiru oleh orang
dewasa; 4)muncul situasi baru dimana-mana, berbohong dibenarkan untuk situasi
tertentu yang dipelajari oleh orang dewasa. Contoh anak berjalan menunduk di
depan orang yang lebih tua perilaku yang mendasarinya adalah agar ia terlihat
sopan.
Sedangkan
menurut Kohlberg ada enam tahap perkembangan moral yang dilalui seseorang anak
untuk dapat sampai ke tingkat dewasa. Keenam tahap tersebut masing-masing
berada pada tiga level, dimana tahap pertama dan kedua berada pada level pre-conventional, tahap tiga dan empat
berada pada level conventional, autonomous atau principled level. Dalam perkembangan moral menurut Kohlberg ini
setiap anak akan berkembang secara berurutan dari satu tahap ke tahap menuju
tahap berikutnya, tidak langsung berada pada tahap ke empat tanpa melewati
tahap berikutnya. Dalam mengerjakan nilai-nilai moral kepada anak didik menurut
Kohlberg tidak dapat diajarkan hanya melalui bujukan atau kata-kata saja akan
tetapi harus ditunjukkan dengan modelling atau contoh, bahwa pertimbangan
kepada orang lain atau memahami keadaan orang lain adalah menyenangkan dan cara
yang harmonis untuk hidup.
Tahapan-tahapan
dalam perkembangan moral menurut Kohlberg sebagai berikut:
1)
Tingkatan Pra Konvensional
Pada
level ini anak-anak memberikan respons terhadap aturan-aturan kebiasaan, baik
dan buruk, benar dan salah, tetapi interprestasi ini diterjemahkan menurut
pemikiran anak itu sendiri atau konsekuensi kesenangan dan ketidaksenangan
terhadap adanya tindakan tertentu (hukuman, reward, ganjaran kebaikan) atau
dalam batas kekuasaan fisik dari orang-orang yang menetapkan aturan atau label
tersebut. Dalam tingkatan prakonvensional terdapat dua tingkatan sebagai
berikut:
Tahap
1: Orientasi pada hukuman dan kepatuhan
Pada
tahap ini biasanya perilaku baik yang muncul pada anak-anak akan tumbuh sebagai
suatu kesadaran atau kebaikan tersebut, akan tetapi hal itu muncul karena
adanya konsekuensi tertentu bilamana anak melakukan atau tidak melakukan
sesuatu tersebut. Keputusan untuk melakukan sesuatu tersebut adalah merupakan
upaya untuk menghindari hukuman dan kepatuhan terhadap kekuasaan, bukan bentuk
moral dari rasa hormat pada nilai-nilai kebaikantersebut.
Tahap
2: Orientasi Instrumental
Pada
tahap ini pandangan terhadap perbuatan
yang benar adalah perbuatan yang secara instrumental memuaskan kebutuhan
dirinya dan kadang-kadang kebutuhan orang lain. Suatu tindakan yang tidak ada
kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan seseorang dapat pula dianggap sebagai
tindakan yang baik sepanjang tindakan tersebut tidak menimbulkan kerugian.
2)
Tingkatan konvensional
Pada
level ini telah tumbuh kesadaran dan penghargaan terhadap individu lain,
keluarga, atau Negara dan hal-hal itu dianggap memiliki nilai bagi dirinya.
Tahapan ini lebih memberikan penekanan terhadap usaha aktif untuk
mengidentifikasi diri dengan pribadi-pribadi atau kelompok-kelompok yang ada di
sekitarnya. Tingkat konvensional ini mencakup dua tahap yang melanjutkan pada
tahap sebelumnya yaitu:
Tahap3: Orientasi anak yang manis
Pada
tahap ini perilaku yang baik diartikan sebagai perilaku yang menyenangkan atau
dapat membantu orang lain dan yang dapat disetujui oleh mereka. Oleh karena itu
dalam tahap ini seseorang akan berusaha mempertahankan perilaku yang baik, bila
orang lain atau lingkungan sekitarnya mengatakan bahwa tindakan yang dilakukan
tersebut merupakan perilaku yang baik.
Tahap
4: Orientasi pada
hukum dan aturan
Pada
tahapan ini tindakan seseorang lebih banya berorientasi pada otoritas,
aturan-aturan yang pasti dan pemeliharaan. Dalam tahap ke empat ini orientasi
anak akan berubah mengarah kepada otoritas, pemeliharaan tata aturan sosial.
3)
Tingkatan pasca konvensional
Pada
tahap ini sudah ada usaha konkrit dalam diri seorang anak untuk menentukan
nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral yang dianggap memiliki validitas yang
diwujudkan tanpa harus mengaitkannya dengan otoritas kelompok atau
pribadi-pribadi yang mendukung prinsip-prinsip tersebut, sekaligus terlepas
dari identifikasi seseorang terhadap kelompok. Pada tingkat ini terdapat dua
tahapan yakni:
Tahap
5: Kontrak sosial, orientasi legalistik
Dalam
tahap ini perbuatan benar didefinisikan sebagai kebenaran individual secara
umum dalam ukuran-ukuran yang standar yang telah diuji secara kritis dan
disepakati oleh masyarakat.
Tahap
6: Orientasi prinsip-prinsip etik universal
Pada
tahap ini, apa yang secara moral dipandang benar tidak harus dibatasi oleh
hukum-hukum dan aturan-aturan sosial, akan tetapi dibatas oleh kata hati dan
kesadaran akan prinsip-prinsip etik. Prinsip-prinsip tersebut merupakan prinsip
universal mengenai keadilan, timbal balik dan persamaan hak asasi manusia serta
rasa hormat terhadap martabat individual manusia.
Berdasarkan
tahapan perkembangan moral yang dikemukakan oleh tokoh Piaget dan Kohlberg,
mereka berpendapat bahwa sebelum seseorang dapat mencapai tahap perkembangan
moral yang paling tinggi maka ia harus melewati dulu tahapan-tahapan
sebelumnya. Misalkan seorang anak tidak mungkin mencapai tahap ketiga sebelum
melalui tahap pertama dan kedua.
c. Dimensi Moral
Moral
pada anak memiliki beberapa dimensi. Para ahli psikologi mengemukakan
pendapatnya mengenai dimensi moral. Dimensions
of morality include moral knowledge and the moral felling in addition to moral
conduct.Pendapat
ini dapat diartikan bahwa tiga dimensi dalam perkembangan moral yakni
pengetahuan moral, perasaan moral, dan perilaku bermoral. Pengetahuan moral
berkaitan dengan pengetahuan benar dan salah yang akan memadu persaan moral.
Perasaan moral adalah dimensi dari proses merasa bersalah jika melakukan
hal-hal yang salah. Perpaduan antara pengetahuan moral dan perasaan moral akan
menyebabkan seseorang melakukan perilku yang bermoral.
Berkaitan
dengan pendapat di atas maka menurut Santrock untuk mempelajari aturan-aturan
di dalam perkembangan moral yaitu:
(a)Bagaimana
anak berpikir/bernalar tentang aturan-aturan yang dikemukakan oleh Piaget
(b)Bagaimana sesungguhnya anak berprilaku dalam keadaan moral yang dipengaruhi
oleh teori belajar sosial Bandura (c) Perasaan moral yakni bagaimana anak
merasakan hal-hal moral yang dikemukakan oleh teori psikoanalistis Sigmund
Freud.
Teori
ini dapat diartikan bahwa bagaiman anak berpikir atau bernalar tentang aturan
berkaitan dengan pengetahuan anak tentang sebuah aturan moral tentang baik atau
benar, sedangkan perilaku atau tindakan adalah bagaimana anak mengambil
keputusan untuk bertindak sesuai dengan aturan yang berlaku, berdasarkan
pengetahuan yang ia miliki tentang sebuah aturan, dan perasaan moral adalah
bagaimana anak dapat merasakan apabila ia melakukan hal yang benar dan salah,
juga anak dapat memahami dari sudut pandang orang lain, jika ia melanggar aturan
moral.
Berdasarkan
penemuan Piaget terhadap perkembangan moral anak dapat dipahami bahwa
perkembangan moral anak usia dini 5-6 tahun berada dalam tahap pertama yakni
heterenomous atau tahap realisme moral.
Dimana seorang anak akan cenderung menerima apa saja aturan yang diberikan oleh
orang yang berkompeten dalam apa saja aturan yang diberikan oleh orang yang
berkompeten dalam hal itu. Hal ini berarti sesungguhnya anak pada usia dini ini
juga merasakan kesetujuan dan ketidak setujuan
terhadap suatu aturan yang diterapkan pada dirinya, namun reaksi ini tidak
terlihat secara jelas dalam perilaku mereka sebagaimana terjadi pada anak yang
usianya di atas anak usia 5-6 tahun.
Menurut
Bandura sebagai salah satu tokoh belajar sosial mengatakan bahwa manusia belajar
jauh lebih cepat hanya dengan mengamati tingkah laku orang lain.
Dalam proses pembelajaran melalui pengamatan terbagi menjadi empat bahasan
yakni : proses, perhatian, proses retensi (ingatan), proses reproduksi motorik,
dan proses penguatan atau motivasi. Proses perhatian adalah proses mengimitasi
sebuah model manusia yang dengan memberikan perhatian yang cukup kepada model
tersebut. Proses retensi (ingatan) adalah proses mengingat dari apa yang telah
diperhatikan dalam bentuk simbolik. Proses reproduksi motorik, adalah proses
untuk memproduksi tingkah laku secara akurat, maka harus memiliki kemampuan
motorik yang dibutuhkan. Proses penguatan atau motivasi, adalah seseorang akan
melakukan peniruan jika ia termotivasi untuk meniru perilaku tersebut.
Pendapat
Bandura menunjukkan bahwa perkembangan nilai-nilai moral pada anak, didasarkan
proses peniruan anak terhadap tingkah laku yang baik yang dicontohkan oleh
orang yang ada di sekitarnya. Percontohan dan pembiasaan adalah dua hal yang
paling penting dalam pengembangan anak usia dini. Percontohan dalam bentuk
model bisa dilakukan langsung yakni dalam sosok seoarang guru dan orang tua
atau model pengganti seperti gambar, gambar visual dalam bentuk film atau
buku-buku cerita. Peraturan-peraturan yang disampaikan dengan percontohan dapat
dijadikan model dalam mengembangkan moral pada anak.
Pembelajaran
dengan model dapat mengembangkan moral pada anak sebab anak merupakan mesin
foto tercanggih yang pernah diciptakan. Di sisi lain anak-anak dengan kemampuan
kognitifnya yang masih berkembang sulit memahami suatu perbuatan tanpa melihat
bagaimana cara melaksanakannya. Dengan mencontoh dapat menjembatani kemampuan
kognitif anak dan kegemarannya meniru sesuatu yang baru.
Menurut
Freud pada teori psikonalisa mengenai perkembangan moral membagi struktur
kepribadian manusia menjadi tiga yakni: id, ego dan super ego.
Super ego merupakan struktur kepribadian yang terdiri atas aspe sosial yang
berisikan system nilai dan moral, yang benar-benar memperhitungkan benar dan salah.
Menurut Freud super ego pada anak berkembang ketika anak mengatasi konflik
Oedipus dan mengidentifikasi dengan orang tua yang berjenis kelamin sama pada
tahun-tahun awal masa kanak-kanak.
Alasan mengapa anak mengatasi konflik. Oedipus ialah kekhawatiran anak akan
kehilangan kasih sayang orang tua dan ketakutan akan dihukum karena ketakutan
akan dihukum karena keinginan seksual mereka terhadap orang tua yang berbeda
jenis kelamin. Untuk menghindari kecemasan, hukuman, dan mempertahankan kasih
sayang maka anak membentuk superego dengan mengidentifikasi diri dengan orang
tua yang sama jenis kelaminnya, anak menginternalisasiakn standar-standar benar
dan salah orang tua yang mencerminkan larangan masyarakat.
Berdasarkan
beberapa pendapat di atas maka ketiga dimensi dalam perkembangan moral yakni
pengetahuan moral, perasaan moral, dan perilaku atau tindakan moral pada anak
tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya, ketiga aspek ini harus
terinternalisasi dalam diri anak. Dengan demikian proses internalisasi seorang
anak dapat diperoleh melalui pengamatan anak, baik yang disengaja maupun yang
tidak disengaja akan contoh-contoh perilaku yang ada di sekitar lingkungannya.
d.
Karakteristik
Perkembangan Moral Anak Usia 5-6 tahun
Usia
5-6 tahun dapat digolongkan ke dalam usia prasekolah. Hal ini ditegaskan oleh
Gustian, bahwa anak usia prasekolah atau yang dikenal masa kanak-kanak (early childhood) berada pada rentang
usia 3-6 tahun.
Disebut usia prasekolah karena anak mulai mempersiapkan diri memasuki dunia
sekolah melalui kelompok bermain atau taman kanak-kanak. Melalui institusi
dalam hal ini adalah lembaga sekolah, seorang anak dapat belajar bersama dengan
teman sebaya dan mengenal lingkungan sekolahnya. Anak dapat mengembangkan bakat
sesuai dengan minat yang dimilikinya.
Sehubungan
dengan memahami moral, Berk mengungkapkan three facest of morality: Psicoanalistic Theories focus on emoticons,
cognitive developmental theory on moral thought, and sosial learning theory, on
moral behavior.
Pendapat ini dapat diartikan bahwa pada dasarnya moral dapat dibagi menjadi
tiga bahasan teori yaitu teori psikoanalitik yang berfokus pada emosi, teori
perkembangan kognitif (intelektual), sebagai pemahaman moral, dan teori belajar
sosial (sosialisasi) sebagai tindakan moral. Berdasarkan pendapat tersebut maka
karakteristik perkembangan moral untuk usia 5-6 tahun selain dapat dilihat dari
teori perkembangan moral itu sendiri juga dapat dilihat dari teori perkembangan
moral itu sendiri juga dapat dilihat dari teori perkembangan moral itu sendiri
juga dapat dilihat dari teori perkembangan psikoanalisis, kognitif, dan sosial.
Perkembangan
moral jika dikaitkan dengan teori perkembangan psikoanalisis menurut Freud,
super ego (aspek sosiologis), super ego dianggap sebaga aspek moral daripada
kepribadian.
Maksud dari pengertian di atas adalah bahwa super ego atau aspek sosiologis
dari pada kepribadian yang berfungsi untuk menentukan apakah sesuatu itu
dikatakan susila atau tidak susila, pantas atau tidak pantas, benar atau salah,
dan dengan berpedoman pada ini seseorang dapat bertindak dalam cara yang sesuai
dengan moral masyarakat.
Dalam
diri manusia ada tiga sistem yang membentuk kepribadian manusia id, ego dan
super ego. Maka super ego lah yang
merupakan bagian yang dapat mengendalikan manusia dari perbuatan yang baik
untuk dilakukan atau perbuatan buruk yang harus ditinggalkan. Karena
nilai-nilai kehidupan sebagai norma atau aturan dalam masyarakat menyangkut
persoalan antara baik dan buruk, jadi berkaitan dengan nilai-nilai moral.
Berdasarkan
pendapat di atas, menurut teori psikososial lain Erickson berpendapat bahwa
pada usia 5-6 tahun anak berada pada tahap ketiga yakni fase inisiatif vs
merasa bersalah.
Pada masa ini seseorang anak akan mengembangkan rasa inisiatif dengan cara menanamkan
rasa tanggung jawab dalam diri anak.
Pada
usia 5-6 tahun karakteristik psikososial anak dapat berkembang, diantaranya
sebagai berikut: (1) perasaan humor berkembang lebih lanjut, (2) sudah dapat
mempelajari mana yang benar dan salah, (3) sudah dapat menenangkan diri, (4)
pada usia 6 tahun anak menjadi sangat assertif, sering berperilaku seperti
atasan, mendominasi situasi, akan tetapi dapat menerima nasihat, (5)sering
bertengkar tetapi cepat kembali baik, (6)anak sudah dapat menunjukkan sikap
marah (7)sudah dapa membedakan mana yang benar dan mana yang salah, dan sudah
dapat menerima peraturan dan disiplin.
Berdasarkan
karakteristik tersebut maka seorang anak pada perkembangan moral yang berkaitan
dengan perkembangan kepribadian psikososial yakni anak sudah dapat membedakan
mana perilaku yang baik untuk dilakukan dan mana perilaku yang tidak baik untuk
dapat ditinggalkan, juga anak sudah dapat mengikuti peraturan dari sebuah
permainan.
Perkembangan
moral pada anak sejalan dengan perkembangan kognitifnya. Semakin meningkat daya
kognitif anak maka akan semakin meningkat pula nilai-nilai moral anak. Hal ini
sejalan dengan apa yang dikemukakan Piaget bahwa kesadaran moral seorang anak
mengalami perkembangan dari satu tahap ke tahap yang lebih tinggi.
Maksudnya adalah cara berpikir anak mengenai masalah moral akan berubah sesuai
dengan bertambahnya usia. Contohnya dalam peraturan sebuah permainan anak yang
usianya 1 sampai 2 tahun belum mengenal peraturan, mereka bermain asal bermain
tanpa mengikuti peraturan, sedangkan anak usia 2 sampai 6 tahun sudah mengenal
peraturan dalam permainan, dengan menirukan anak-anak yang lebih besar bermain
dalam permainan.
Senada
dengan teori di atas menurut Yuliani
Nurani Sujiono
dalam perkembangan moral, anak dapat berkembang sesuai dengan perkembangan usia
dan kognitif anak.
Adapun
karakteristik perkembangan moral pada anak usia 5-6 tahun meliputi: (1)anak
mampu meminta izin untuk memakai milik orang lain, (2) anak mulai mengerti akan
hukuman terhadap dirinya, (3) mengenal sopan santun, seperti berterima kasih,
mencium tangan, dll, (4)anak berbuat baik karena ingin mendapat pujian, (5)
anak sudah dapat menyesuaikan diri dengan yang diinginkan kelompok sosialnya
dan mana yang harus dijauhi, (6) anak mulai patuh terhadap tuntutan atau aturan
dari orang tua dan lingkungan sosialnya.
Pengertian
di atas dapat diartikan bahwa pada usia 5-6 tahun perkembangan moral anak akan
berkembang sesuai dengan perkembangan kognitifnya. Dimana anak akan memiliki
moral yang lebih matang dibanding dengan usia di bawahnya. Sebagai contoh pada
anak usia ini anak sudah mampu untuk meminta izin dalam menggunakan benda milik
orang lain, juga anak sudah dapat menyesuaika diri dengan yang diinginkan
kelompok sosialnya dan mana yang harus dijauhi, misal anak harus mengantri
menunggu giliran ketika dalam sebuah permainan secara kelompok.
Adapun
Djiwandono mengatakan bahwa anak usia 5-6 tahun mengekspresikan kesadaran
tentang aturan, tapi tidak mengerti kebutuhan untuk mengikuti aturan.
Dapat dikatakan bahwa anak belum mengerti pentingnya mengikuti aturan yang
berlaku, misalnya ketika sedang bermain anak mau bekerja sama membangun sebuah
bentuk dari balok ketika diminta oleh guru di sekolah. Akan tetapi anak belum
mengerti mengapa mereka melakukan kerja sama padahal mereka sanggup
melakukannya sendiri.
Berdasarkan
uraian di atas maka dapat dideskripsikan bahwa karakteristik perkembangan
nilai-nilai moral anak usia 5-6 tahun bahwa seorang anak sudah dapat membedakan
perilaku yang harus dilakukan dan ditinggalkan, anak mulai dapat membedakan
yang benar dan salah, sesuai atau tidaknya dengan aturan yang berlaku dalam
masyarakat. Anak juga sudah dapat mengenal aturan dari sebuah permainan, anak
sudah dapat menjalankan peraturan dan disiplin, sedangkan dari sisi kognitif
anak mampu meminta izin untuk memakai milik rang lain, anak mulai mengerti akan
hukuman terhadap dirinya, mengenal sopan santun, seperti berterima kasih,
mencium tangan dan lain lain, anak berbuat baik karena ingin mendapat pujian,
anak sudah dapat menyesuaikan diri dengan yang diinginkan kelompok sosialnya
dan mana yang harus dijauhi, anak mulai patuh terhadap tuntunan atau aturan
dari orang tua dan lingkungan sosialnya.
Pada
usia 5-6 tahun dasar-dasar nilai-nilai moral terhadap kelompok sosial harus
sudah terbentuk. Anak tidak lagi terus menerus diterangkan mengapa perbuatan
yang dilakukan benar atau salah. Tetapi ditunjukkan bagaimana ia harus
bertingkah laku dan bilamana hal ini tidak dilakukan maka anak akan terkena
sangsi hukum. Pada usia 5-6 tahun anak harus sudah patuh terhadap tuntunan atau
aturan orangtua dan lingkungan sosialnya. Ucapan orang lain seperti baik, tidak
boleh nakal akan disosialisasikan anak dengan konsep benar dan salah.
e. Pengembangan Perilaku Moral Anak Usia 5
– 6 tahun
Pengembangan
perilaku moral pada anak usia 5-6 tahun merupakan usaha yang dilakukan oleh
orang dewasa terhadap pembentukan moral pada anak. Proses pengembangan perilaku
moral ini tidak dapat dilakukan secara cepat, akan tetapi membutuhkan proses
yang panjang, karena pembentukan moral ini saling terkait antara pengaruh
pendidikan dari dalam keluarga, sekolah dan lingkungan ,masyarakat.
Pengembangan perilaku moral pada anak yang dapat dilakukan di sekolah adalah
dengan melakukan pembiasaan dalam hal kegiatan-kegiatan positif juga dengan
adanya contoh atau modelling yang dilakukan oleh guru.
Melalui
strategi yang dilakukan dalam pengembangan nilai-nilai moral pada anak ini maka
akan tercapai tujuan yang ingin dicapai yakni dapat mengembangkan nilai-nilai
moral pada anak yang akan di internalisasikan dan dapat diaplikasikan dalam
kehidupan sehari-harinya.
1.
Strategi Latihan dan pembiasaan
Latihan
dan pembiasaan merupakan strategi yang efektif untuk membentuk perilaku
tertentu pada anak-anak, termasuk perilaku moral. Dengan latihan dan pembiasaan
terbentuklah perilaku yang bersifat relatif menetap. Misalnya, jika anak
dibiasakan untuk menghormati anak yang lebih tua atau orang dewasa lainnya,
maka anak memiliki kebiasaan yang baik, yaitu selalu menghormati kakaknya atau orang
tuanya. Anak dibiasakan untuk antri ketika cuci tangan, maka hal ini akan
menjadi perilaku yang menetap dalam diri anak sebagai perilaku yang baik.
2.
Strategi Aktivitas Bermain
Bermain
merupakan aktivitas yang dilakukan oleh setiap anak dapat digunakan dan
dikelola untuk pengembangan perilaku moral pada anak. Menurut hasil penelitian
yang dilakukan oleh Piaget dalam aktifiats bermain kelereng menyimpulkan bahwa
anak-anak berpikir dengan dua cara yang berbeda tentang nilai moral.
Pengertian ini dapat disimpulkan bahwa dalam aktifitas bermain tentang sebuah
aturan pada mulanya anak bermain sendiri tanpa menggunakan mainan, setelah itu
anak bermain menggunakan mainan namun dilakukan sendiri. Kemudian anak bermain
bersama temannya bersama temannya namun belum mengikuti aturan-aturan yang
berlaku. Selanjutnya anak bermain bersama dengan teman-temannya berdasarkan
aturan yang berlaku. Sebagai contoh anak bermain membangun balok bersama teman,
walaupun kegiatan bermain secara berkelompok namun anak tetap membuat bangunan
sendiri, yang kemudian anak membangun bersama.
Usaha
pengembangan moral anak usia dini dapat dilakukan dengan strategi pembelajaran
moral. Pembelajaran moral dalam konteks ini tidak semata-mata sebagai suatu
situasi seperti yang terjadi dalam kelas-kelas belajar formal d sekolah,
apalagi pembelajaran ini ditujukan pada anak-anak usia dini dengan ciri
utamanya senang bermain. Dari segi tahapan perkembangan moral, strategi
pembelajaran moral berbeda orientasinya antara tahapan yang satu dengan yang
lainnya.
Pada
anak usia 0-2tahun pembelajaran lebih banyak berorientasi pada latihan
aktivitas motorik dan pemenuhan kebutuhan anak secara proposional. Pada anak
usia antara 2-4 tahun pembelajaran moral lebih diarahkan pada pembentukkan rasa
kemandirian anak dalam memasuki dan menghadapi lingkungan. Untuk anak usia 4-6
tahun strategi pembelajaran moral diarahkan pada pembentukkan insiatif anak
untuk memecahkan masalah yang berhubungan dengan perilaku baik dan buruk.
f.
Perilaku
Mandiri dan Sopan santun
Perilaku
moral adalah perilaku moral adalah bentuk tanggapan yang tercermin dalam
tindakan dan didasari oleh kemampuan dasar pada bagian awal kehidupan yang mana
meliputi sistem kepercayaan, penghargaan, dan ketetapan serta prosesnya terjadi
di alam bawah sadar yang tercermin dalam tindakan yang benar dan yang salah
serta sesuai dengan ide-ide umum diterima tentang tindakan manusia yang dinilai
baik dan wajar.
Anak
dinilai baik dan tidaknya dapat dilihat dari bagaimana perilaku anak dalam kehidupan
sehari-hari. Setiap anak ingin memiliki perilaku yang baik dan menyenangkan,
hal ini disebabkan karena anak sebagai makhluk hidup ingin diterima oleh
lingkungan sekitarnya. Lingkungan akan sangat menentukan perilaku anak
sehari-hari. Apabila anak hidup di lingkungan yang baik maka perilakunya
kemungkinan baik, dan apabila anak hidup di lingkungan yang buruk, maka
perilaku burukpun akan mempengaruhinya, karena pada dasarnya anak akan
mencontoh dari setiapperilaku yang dilihatnya.
Penelitian tindakan ini mengambil fokus pada perilaku moral mandiri dan sopan santun.
Sebagai
generasi penerus bangsa, setiap anak
tentunya diharapkan memiliki pribadi yang unggul serta mampu memecahkan
persoalan yang ada dalam kehidupannya, tetapi menjadi mandiri bukanlah suatu
proses yang bisa diperoleh dengan tiba-tiba. Hal ini memerlukan proses panjang
yang harus dimulai sejak usia dini. Dengan kata lain, kemandirian yang
ditanamkan sejak usia dini akan sangat berdampak pada masa depan setiap
individu terutama ketika mereka harus menghadapi dunia dan segala
problematikanya.
Menghadapi
problematika kehidupan dan segala tantangan dunia bukan merupakan hal yang
mudah. Setiap individu harus mampu untuk menentukan pilihan atas
kehidupannya.Kemandirian yang ditanamkan sejak dini akan membuat individu
terbiasa dalam mengambil keputusan tanpa terpengaruh dari lingkungan luar dan
menyadari apa yang terbaik bagi dirinya.
Dalam
kehidupan sehari-hari kemandirian dapat dilihat ketika anak berinteraksi dengan
lingkungan sekitarnya. Anak mandiri pada dasarnya adalah anak yang mampu
berpikir dan berbuat untuk dirinya sendiri; seorang anak yang mandiri biasanya
aktif, kreatif, kompeten, tidak bergantung pada orang lain, dan tampak spontan.
Anak yang mandiri dapat dengan mudah beradapatasi pada lingkungan di
sekitarnya. Anak yang mandiri tahu betul bagaimana harus bersikap ketika
menghadapi sesuatu.
Kemandirian merupakan hal yang penting
dalam perjalanan hidup seorang anak. Kemandirian dapat diartikan sebagai hasrat
untuk mengerjakan segala sesuatu bagi diri sendiri.
Anak memliki keinginan untuk melakukan segala sesuatunya secara mandiri dalam
rangka memenuhi kebutuhan dan mendapat kepuasan bagi dirinya sendiri. Anak
senang mencoba hal yang baru dan mendapatkan pengalaman yang baru pula. Umumnya
anak anak ingin mencoba untuk mandi sendiri ataupun melakukan hal lain yang
berhubungan dengan kebutuhan dirinya.
Anak membutuhkan kebebasan untuk mencoba
melakukan sesuatunya sendiri dalam upaya membangung kemandirian dirinya. Hal
ini sejalan dengan pernyataan yang menyebutkan bahwa kemandirian berasal dari
kata mandiri yang memiliki arti kebebasan melakukan kebutuhan diri sendiri.
Kebebasan yang diberikan kepada anak untuk melakukan suatu hal secara sendiri
membantu anak untuk dapat melakukan dan memenuhi
kebutuhan diri sendiri.
Perilakumandiridimaknaisebagai
perilaku yang tidak bergantung pada orang lain. Penanaman nilai ini bertujuan
agar anak terbiasa untuk menentukan, melakukan, memenuhi kebutuhan sendiri
tanpa bantuan atau dengan bantuan yang seperlunya. Kemandirian pada anak usia
dini dapat mengembangkan rasa percaya diri yang dibutuhkan khususnya saat anak
memasuki dunia sekolah, karena dengan rasa percaya yang tumbuh seiring
kemandiriannya, seorang anak dapat lebih mudah terhindar dari kecemasan/ketakutan.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas
kemandirian dapat diartikan sebagai hasrat untuk memiliki kebebasan mengerjakan
segala sesuatunya secara sendiri tanpa bergantung pada orang lain dalam rangka
memenuhi kebutuhan diri sendiri.
Kemandirian pada anak ditandai
dengan berkembangnya ketrampilan menolong diri sendri seperti keterampilan
makan, mengenakan pakaian dan sebagainya. Selain itu kemandirian pada anak juga
ditandai dengan adanya kemampuan untuk menentukan pilihan dan bertanggung jawab
atas pilihan yang diambil, adanya rasa inisiatif, percaya diri, dan kemampuan
uuntuk melakukan sesuatu sendiri tanpa bantuan orang lain.
Sedangkansopansantunsecara
etimologis berasal dari dua buah kata, yaitu kata sopan dan santun. Keduanya
telah bergabung menjadi sebuah kata majemuk. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, sopan pantun dapatdiartikansebagaiberikut:
Sopanadalahhormatdengan
tak lazim(akan,kepada) tertib menurut adab yang baik. Atau bisa dikatakan
sebagaicerminankognitif(pengetahuan).
Santunadalahhalusdan
baik (budi bahasanya, tingkah lakunya); sopan, sabar; tenang.Atau bisa
dikatakan cerminan psikomotorik (penerapan pengetahuan sopan
kedalamsuatutindakan).
Jikadigabungkankeduakalimat
tersebut, sopan santun adalah pengetahuan yang berkaitan dengan penghormatan melalui sikap,
perbuatan atau tingkah laku, budi pekerti yang baik, sesuai dengan tata krama;
peradaban; kesusilaan.
Berdasarkan pengertian di atas perilaku mandiri dan sopan santun adalah dua
perilaku moral yang sangat penting untuk diterapkan dan ditingkatkan sejak
dini. Periode dini dalam perjalanan usia manusia merupakan periode penting bagi
pembentukan otak, kepribadian, memori dan aspek perkembangan yang lain.
Kegagalan pertumbuhan dan perkembangan pada masa ini dapat mengakibatkan
kegagalan masa-masa sesudahnya.
2. Hakikat Metode Bercerita
a. Pengertian Metode Bercerita
Dalam
kegiatan belajar mengajar keberhasilan seorang guru dalam menyampaikan
pembelajaran dipengaruhi oleh metode yang digunakan karena kemampuan yang
diharapkan dapat dimiliki anak akan ditentukan oleh kerelevensian penggunaan
suatu metode yang sesuai dengan tujuan.
Metode adalah cara, yang dalam fungsinya
merupakan alat untuk mencapai tujuan. Makin tepat metodenya, diharapkan makin
efektif pula pencapaian tujuan tersebut.
Metode
bercerita merupakan salah satu metode yang banyak digunakan di Taman
Kanak-kanak. Sebagai suatu metode, bercerita mengundang perhatian anak terhadap
pendidik sesuai dengan tema pembelajaran. Sebelum dikenalnya bahasa tulis,
menulis, pada zaman dahulu bercerita merupakan satu-satunya cara untuk
berkomunikasi segala informasi yang terjadi pada saat itu.
Cerita
adalah metode komunikasi bangsa Indonesia yang sudah berlaku dari generasi ke
generasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Gordon dan Brown sebagaimana dikutip
oleh Moeslichatoen, bercerita adalah cara untuk meneruskan warisan budaya dari
satu generasi ke generasi berikutnya.
Pendapat ini dapat diartikan bahwa cerita merupakan cara untuk melestarikan
budaya secara turun menurun dari generasi sebelumnya ke generasi berikutnya.
Dengan
bercerita penanaman nilai-nilai moral menjadi lebih menyenangkan. Membuat anak
tanpa disadari sudah diberi nasehat atau dinasehati tanpa merasa dinasehati.
Sejalan dengan pendapat Horatius bahwa hakekat cerita adalah dulce et utile yang berarti menyenangkan
dan bermanfaat.
Selain menyenangkan, cerita mempunyai manfaat yang baik untuk mengembangkan
berbagai potensi anak.
Menurut
pendapat Jennings, “Storytelling is an
art from which not only crosses the boundaries of time and culture, but has
always been a vehicle for conveying knowledge, feelings, thought and ideas.
Pendapat ini dapat diartikan bahwa bercerita adalah suatu bentuk seni yang
tidak hanya melintasi batas waktu dan budaya. Akan tetapi juga sebagai sarana untuk
menyampaikan pengetahuan, perasaan, pikiran dan ide. Selain digunakan untuk
menyalurkan budaya dari generasi ke generasi, cerita juga dapat dijadikan
sebagai sarana untuk menyampaikan perasaan atau pikiran yang ada dalam diri
seseorang.
Sedangkan
Ellin Greene mengartikanbercerita sebagai suatu seni menciptakan kembali
literatur, membawa kata-kata yang tercetak di dalam buku dan memberi mereka
kehidupan.
Cerita
dianggap sebagai seni kuno yang bersandar kepada kekuatan kata-kata yang
mempunyai target utama yaitu memberikan kesenangan pada anak-anak. Setiap kata
yang diucapkan oleh pencerita akan membuat anak semakin tertarik dan penasaran
terhadap cerita tersebut. Pada cerita anak, biasanya terjadi pengulangan kata.
Kata-kata yang diulang tersebut bukan karena pencerita kehabisan kata-kata
untuk bercerita, melainkan agar anak memahami setiap kata yang ada dalam cerita
dan memperkaya kosa kata anak.
Anne
Pellowski mengatakan bahwa storry telling adalah suatu seni dari pengisahan
cerita dalam bentuk sajak dan atau prosa yang ditampilkan oleh satu orang
kepada penonton secara langsung, pengisahan cerita dapat dilakukan dengan
menyanyi atau cara biasa, dengan atau tanpa musik, menggunakan gambar, dan atau
iringan lain yang telah dipelajari lebih dahulu dari perkataan lisan, tulisan,
atau bersumber dari rekaman dan salah satu tujuannya adalah untuk hiburan.
Sedangkan
menurut Ruth Sawyer,bercerita adalah suatu seni dan kreativitas dimana
pencerita bercerita untuk menyampaikan informasi secara tidak langsung kepada
pendengarnya.
Berdasarkan
teori-teori di atas, maka dapat didefinisikan bahwa bercerita adalah sebagai
sarana lisan dalam memberikan pengetahuan, dan pengenalan budaya. Selain itu,
bercerita dapat disimpulkan sebagai suatu cara seni untuk menyampaikan pengetahuan,
perasaan, pikiran dan ide-ide dengan mewariskan budaya ke generasi selanjutnya
secara lisan. Selain itu, bercerita juga dapat digunakan sebagai sarana yang
menyenangkan untuk menanamkan nilai-nilai moral pada anak karena melalui cerita
anak tidak merasa sedang dinasehati atau digurui. Bercerita juga dapat
digunakan oleh guru sebagai cara untuk mengetahui perasaan dan pikiran
anak-anak. Guru meminta anak untuk bercerita di depan kelas tentang perasaan
atau kegiatan sehari-hari anak tersebut, sehingga kegiatan bercerita ini dapat
menambah kedekatan dan keakraban hubungan antara guru dan anak.
Dari
pengertian di atas maka dapat dideskripsikan bahwa yang dimaksud dengan metode
bercerita adalah suatu cara seni
menyampaikan informasi secara tidak langsung kepada pendengarnya dengan cara menciptakan kembali
literaturdari pengisahan cerita dalam bentuk sajak atau prosa yang ditampilkan
oleh satu orang kepada penonton secara langsung, pengisahan cerita dapat
dilakukan dengan menyanyi atau cara biasa, dengan atau tanpa musik, menggunakan
gambar, dan atau iringan lain yang telah dipelajari lebih dahulu dari perkataan
lisan, tulisan, atau bersumber dari rekaman dan salah satu tujuannya adalah
untuk hiburan dan
meneruskan warisan budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya.
b.
Manfaat Metode Bercerita
Bercerita
dapat memberikan banyak hal kepada anak, cerita menawarkan kesempatan
menginterprestasi dengan mengenali kehidupan di luar pengalaman langsung,
dengan cerita anak-anak dikenalkan dengan berbagai cara, pola, dan pendekatan
tingkah laku manusia. Beberapa manfaat bercerita dikemukakan oleh Asfandiar
diantaranya :
1.
Komunikasi yang menarik.
2.
Cara belajar yang menyenangkan.
3.
Melatih anak-anak berasosiasi.
4.
Melatih kemampuan bahasa anak.
5.
Media komunikasi anak dengan dirinya ataupun
dengan orang lain.
Komunikasi
yang menarik sangat berpengaruh dalam pendidikan anak, pola pikir, pengalaman
dan cara pandang anak sangat berbeda dengan orang dewasa. Cerita menjadi salah
satu komunikasi yang menarik karena mengandung unsur imajinasi dan kreatifitas
yang tinggi sesuai dengan sifat dan dunia anak yang selalu berekspresi.
Bercerita menjadi salah satu cara belajar yang menyenangkan, cerita yang
dikemas menyenangkan membuat anak bersemangat dan mudah dalam menerima pesan, terutama
cerita yang menggunakan panca indera seperti mata, pendengaran, gerak sehingga
hati ikut merasakan.
Bercerita
jika dikaitkan dengan kemampuan membaca dini dapat melatih anak berasosiasi
cerita yang disajikan dapat diserap melalui inderanya, apa yang dlihat,
didengar dan diraba dapat terlihat langsung pengaruhnya. Selain cerita dapat
melatih kemampuan bahasa anak mendengarkan cerita dapat mengajarkan anak
berbicara dan menambah pembendaharaan kata yang merupakan langkah awal anak
mampu membaca.
Menurut
Gunarti ada beberapa manfaat dari kegiatan bercerita diantaranya: Mengembangkan
kemampuan berbahasa seperti mendengarkan dan berbicara, mengembangkan kemampuan
berfikir dengan diajak untuk memfokuskan perhatian dan berfantasi mengenai
jalan cerita serta mengembangkan kemampuan berfikir secara simbolis, melatih
daya ingat dan memori anak untuk menyimpan informasi melalui tuturan peristiwa
yang disampaikan, mengembangkan potensi kreatif anak melalui keragaman ide
cerita yang dituturkan.
Bercerita
seperti yang diungkapkan di atas mempunyai manfaat yang beragam khususnya jika
dikaitkan dengan membaca dini, seorang anak akan mudah memahami kata-kata atau
simbol-simbol yang diberikan guru, karena melalui kegiatan bercerita daya ingat
dan memori anak untuk menyimpan informasi dapat dikembangkan, selain itu
kemampuan berfikir dapat dikembangkan dengan mengajak anak untuk memfokuskan
perhatian dan berfantasi mengenai jalan cerita serta mengembangkan kemampuan
berfikir.
c.
Teknik Penyajian Cerita
Untuk
menyajikan cerita secara menarik, diperlukan beberapa persiapan, mulai dari
penyiapan tempat, penyiapan alat peraga, hingga penyajian cerita. Penerapan
teknik penyajian cerita dipengaruhi oleh kondisi pendengar dan kultur yang
melingkupi cerita. Sesuatu yang direncanakan, kadang mengalami perubahan ketika
proses penceritaan terjadi. Oleh sebab itu ada beberapa teknik yang harus
diperhartikan ketika ingin menyajikan cerita, yaitu:
1. Memilih
dan Mempersiapkan Tempat
Aktivitas
bercerita tidak harus dilakukan di dalam kelas. Kegiatan bercerita dapat
dilakukan dimana pun asal memenuhi kriteria kebersihan, keamanan, dan
kenyamanan. Jika jumlah anak sedikit, bercerita dapat dilakukan di berbagai
tempat, seperti di teras, di kelas, di bawah pohon, di ruang tamu, dll. Pada
prinsipnya, yang terpenting tempat tersebut dapat menampung semua anak, nyaman,
teduh, bersih, dan aman.
Apabila
jumlah anak relatif banyak sebaiknya dipilih tempat yang lebih luas. Ruang
kelas merupakan tempat yang paling representatif (memenuhi persyaratan).
Meskipun demikian, dalam acara tertentu, cerita dapat disajikan di halaman
sekolah, di tanah lapang, atau di tempat-tempat rekreasi. Sedapat mungkin
tempat-tempat yang dipilih dapat mendukung keberhasilan cerita. Tempat-tempat
yang gayut dengan cerita akan semakin menguatkan memori jangka panjang anak.
Hal ini terjadi karena anak memperoleh dua rangsang sekaligus, yakni rangsang
auditif dan visual. Gayutan tempat, dalam hal ini berfungsi sebagai masukan
visual.
2. Bercerita
dengan Alat Peraga
Cerita
dapat dilakukan dengan berbagai alat bantu yang disebut sebagai bercerita
dengan alat peraga. Alat peraga yang paling sederhana adalah buku, kemudian
gambar, papan planel, boneka, dan film bisu. Semua alat peraga membutuhkan
ketrampilan tersendiri yang memungkinkan penggunaan alat peraga itu berfungsi
optimal.
a.
Bercerita dengan Alat Peraga Gambar
Bercerita
dengan alat peraga buku dikategorikan sebagai reading aloud (membaca nyaring). Bercerita dengan media buku
dipilih apabila guru memiliki keterbatasan pengalaman (guru belum berpengalaman
bercerita), guru memiliki kekhawatiran kehilangan detil cerita, dan memiliki
keterbatasan sarana bahasa, serta takut salah berbahasa. Bercerita dengan alat peraga buku dimaksudkan
sebagai arena latihan bagi guru
Membacakan
cerita dalam buku memiliki beberapa kelebihan sekaligus kelemahan yang harus
diatasi guru. Beberapa keuntungan dapat disebut disini. Pertama, membacakan cerita dalam buku merupakan demonstrasi terbaik
bagaimana mencintai buku. Kedua, buku
merupakan sumber ide terbaik. Ketiga,
ketika menyimak tulisan anak memiliki kesempatan untuk memprediksi kata dari
kelanjutan cerita. Keempat, gambar
dalam buku membantu pemahaman anak. Kelima,
keberadaan buku mendorong anak untuk belajar “membaca” sendiri begitu kegiatan
bercerita selesai.
Di
samping itu, membacakan cerita juga dapat menjadi ladang persemaian kesiapan
membaca anak. Bahkan jika guru cukup kreatif, bercerita dengan buku dapat
digunakan untuk memperkenalkan materi-materi akademis.
Selain
memiliki kelebihan, bercerita dengan media buku pun memiliki kelemahan.
Kegiatan ini dapat menjadi monoton dan membosankan karena guru lupa bahwa ia
sedang berhadapan dengan pendengar. Pada pertengahan cerita, ada kemungkinan
guru melupakan pendengarnya, dan dalam hal demikian, guru cenderung membaca
untuk diri sendiri. Dapat juga terjadi bahwa guru membaca cerita dengan tempo
terlalu cepat. Guru mungkin lupa bahwa buku mempunyai karakteristik keseksamaan
(precise), ekonomis (economical), ketakterulangan (unrepetitive).
Bercerita
dengan alat peraga buku memiliki pengaruh yang positif dalam memunculkan
kemampuan keberaksaran (emergent literacy)
anak dan mendorong tumbuhnya kesiapan baca (reading
readiness) pada anak. Untuk itu, perlu dilakukan pemilihan buku-buku yang
memilki keterbacaan (readibility) yang sesuai dengan tingkat penguasaan dan
kemampuan anak.
Bercerita
dengan alat peraga buku dapat dilakukan jika pendengar, dalam hal ini siswa,
tidak terlalu banyak. Dengan demikian, semua siswa dapat melihat kepada gambar
yang ada dalam buku. Karenanya, buku yang digunakan seyogyanya memiliki gambar
yang relatif besar dan menarik dengan tulisan yang berukuran cukup besar.
Jumlah kalimat diperkirakan sekitar dua hingga empat kalimat pendek setiap
halaman. Kalimat umumnya diletakan pada bagian bawah gambar.
b.
Bercerita dengan Alat Peraga Buku
Alat
peraga gambar yang dapat digunakan untuk menyampaikan dongeng kepada anak
meliputi gambar berseri dalam bentuk kertas lepas dan buku, serta gambar di
papan planel. Keduanya dapat diterapkan dengan memperhatikan jumlah anak,
kebutuhan media, dan kesesuaian cerita. Media gambar dalam bentuk kertas lepas
dan buku sesuai apabila jumlah anak tidak terlalu banyak. Sebaliknya gambar di
papan planel dapat digunakan untuk jumlah yang lebih besar mengingat papan
planel memiliki daya jangkau yang lebih luas daripada gambar lepas dan buku.
Meskipun demikian, gambar lepas dan buku umumnya lebih menarik daripada gambar
di papan planel yang dibuat guru, karena dicetak dalam tata gambar dan tata
warna yang baik.
Bercerita
dengan gambar lepas membutuhkan penguasaan cerita yang baik. Guru dituntut
bukan saja hafal cerita tapi juga memiliki kemampuan mensinkronkan gambar dan
cerita, serta ketrampilan mengkomunikasikan gambar kepada pendengar.
Sementara
itu, bercerita dengan media gambar papan planel memilki beberapa kemudahan.
Perhatian anak dan guru terfokus pada gambar. Hal itu memudahkan guru untuk
mensinkronkan gambar dan cerita. Guru juga lebih leluasa memanfaatkan gambar
untuk keperluan penunjukan objek-objek tertentu dalam gambar. Bagi anak, gambar
papan planel yang besar memudahkan mereka melihat dan menginterpretasi serta
memahami cerita yang dibawakan guru. Anak-anak juga memiliki kesempatan untuk
memperhatikan gerakan tangan, mimik, dan gerak mulut guru ketika bercerita. Hal
demikian membantu anak memahami makna dan maksud cerita.
Bercerita
dengan media papan planel menuntut kualitas gambar yang bagus. Guru dapat saja
membuat gambar sendiri, namun harus tetap memperhatikan paduan warna dan
keserasian objek, serta kepaduan gambar dengan cerita. Selain itu, media ini
memerlukan alat habis pakai yang relatif banyak seperti spidol, cat air,
crayon, kertas karton, dan pewarna lain.
Bercerita
dengan media gambar papan planel dapat membantu guru memperkenalkan kata-kata
baru kepada anak, terutama kata benda (nomina) yang merujuk pada benda konkret
seperti nama hewan, tumbuhan, benda-benda, serta kata kerja (verba) yang
merujuk pada aktivitas fisik, seperti mencakar, memanjat, menyeret, dan juga
ajektif yang merujuk pada perasaan seperti sedih, takut, dan marah. Gambar pada
papan planel juga berfungsi untuk membantu menggiring imajinasi anak. Meskipun
demikian, adakalanya, penggiringan imajinasi justru menghambat kebebasan
imajinasi anak. Anak tidak dapat berimajinasi secara bebas seperti jika mereka
menikmati cerita tanpa media gambar.
c.
Bercerita dengan Alat Peraga Boneka
Bercerita
dengan memanfaatkan boneka sebagai alat peraga masih menjadi pilihan para guru
hingga saat ini. Dalam berbagai lomba mendongeng, boneka menjadi alat peraga utama
para peserta.Dengan bantuan panggung boneka yang dihiasi miniatur pemandangan,
guru bercerita seperti layaknya panggung boneka pada serial Unyil di televisi.
Boneka menjadi alat peraga yang dianggap mendekati naturalitas bercerita.
Tokoh-tokoh yang diwujudkan melalui boneka berbicara dengan gerakan-gerakan
yang mendukung cerita dan mudah diikuti anak. Melalui boneka, anak tahu tokoh
mana yang sedang berbicara, apa isi pembicaraannya, dan bagaimana perilakunya.
Boneka kadang menjadi sesuatu yang hidup dalam imajinasi anak.
Bercerita
dengan boneka membutuhkan persiapan yang lebih matang, terutama persiapan
memainkan boneka. Ketrampilan mengerak-gerakkan jari dengan lincah menjadi
bagian penting dalam memainkan peran para tokoh. Ketrampilan memainkan boneka
menjadi faktor penentu keberhasilan bercerita di samping ketrampilan berolah
suara.
Ada
beberapa jenis boneka yang dapat digunakan sebaga alat peraga bercerita, yakni
boneka gagang, boneka gantung, boneka tangan dan boneka tempel. Setiap boneka
memerlukan tumpuan ketrampilan tangan sendiri-sendiri.
Panggung
boneka sendiri dapat dikategorikan ke dalam dua jenis, yakni panggung dua
dimensi dan panggung boneka tiga dimensi. Panggung boneka dua dimensi dibuat
untuk boneka tempel dan boneka gantung. Hiasan panggung dapat dibuat dari bahan
alam yang dilekatkan, dan dapat pula dibuat gambar langsung pada panggung.
Boneka
gagang (termasuk wayang) digerakkan dengan gagang, sebagaimana tampak pada
gambar. Boneka tempel dapat digerakkan dari balik layar, maupun digerakkan dari
bawah oleh pencerita dengan bantuan lidi dan tali.
Panggung
tiga dimensi lebih cocok digunakan untuk boneka tangan atau boneka gantung.
Panggung tiga dimensi meruang (membentuk ruangan) dapat dibuat dari kardus
maupun kayu. Panggung ini dilengkapi dengan benda penghias seperti pohon
tiruan, daun yang berfungsi sebagai semak atau hutan, rumah-rumahan,
bukit-bukitan, dan jalan tiruan. Semua komponen panggung dapat dilihat dari
arah kanan, kiri dan depan. Pada bagian belakang dapat dimanfaatkan untuk latar
pemandangan seperti gambar gunung, rumah, atau gambar hutan. Panggung tiga
dimensi dilengkapi dengan alas terbuka yang berfungsi sebagai tempat pengendali
boneka. Tinggi alas dibuat sesuai kebutuhan, setidak-tidaknya setinggi orang
duduk.
Jika
fasilitas terbatas, guru dapat memanfaatkan meja yang dibalik (bagian atas
berada di depan). Dapat juga memanfaatkan kardus besar yang diberi hiasan
panggung secara sederhana. Walaupun sederhana, kehadiran panggung boneka
tersebut tetep bernilai positif, yakni menghidupkan latar cerita.
d.
Bercerita dengan Media Gambar Gerak
Yang
termasuk gambar hidup adalah film bisu atau film non audial. Gambar dalam film
dibuat berurutan dalam satu jalinan cerita, sedangkan narasi dan dialog diisi
oleh pencerita. Walaupun jarang, cerita jenis ini kadang digunakan oleh
pendongeng untuk menghibur pendengar dalam jumlah banyak. Bercerita dengan
media ini memerlukan ketrampilan bercerita yang tinggi dan prima. Di samping
menghafal skenario cerita, pencerita juga harus memiliki berbagai karakter
suara tokoh dan kemampuan bernarasi yang bak. Suara hasil aksi seperti memukul,
menendang, dan meloncat juga sangat baik jika dikuasai pendongeng.
Bercerita
dengan media gambar gerak, meskipun mungkin tidak akan dipraktikan guru,
seyogyanya diketahui juga. Pengetahuan ini berguna jika sewaktu-waktu guru
memperoleh kesempatan untuk bercerita dengan media ini.
Bercerita
gaya teaterikal membutuhkan alat pelantang, musik pengiring yang berfungsi
sebagai pengisi ilustrasi, dan tempat duduk. Gambar ditampilkan melalui alat
penyorot yang dapat dilihat oleh banyak penikmatnya. Ruangan dibuat lebih gelap
dari pada gambar sehingga semua perhatian dapat tertuju kepada gambar.
Pencerita sendiri tidak tampil menonjol. Meskipun demikian, suaranya yang terbagi
menjadi narasi, suara-suara tokoh, dan penegas adegan sangat menentukan
kualitas cerita.
e.
Bercerita Tanpa Alat Peraga
Bercerita
tanpa alat peraga disebut juga bercerita secara langsung. Teknik ini banyak
diterapkan oleh guru-guru TK di sekolah. Bercerita tanpa alat peraga ini sangat
mengandalkan kualitas suara, ekspresi, wajah, serta gerakan tangan dan tubuh.
Pencerita dapat mengambil posisi duduk atau berdiri dalam suasana santai.
Teknik ini tidak terikat tempat, waktu, dan orang yang hadir. Kapan, dimana,
dan berapun jumlah pendengar dapat dilayani.
Meskipun
lebih fleksibel, mendongeng dengan tanpa alat peraga membutuhkan ketrampilan
dan memori yang tinggi. Tidak ada alat bantu apapun yang dapat membangkitkan
daya ingat akan peristiwa, narasi dan dialog tokoh-tokohnya. Untuk mengatasi
hal ini, pencerita mungkin memerlukan catatan kecil sebagai penolong
kalau-kalau ada bagian yang terlupakan.
Di
tangan penceria ulung, bercerita secara langsung menjadi sangat menarik.
Suaranya yang lantang ekspresif, gerakan mata, mulut dan mimik yang pas dengan
karakter dan peran tokoh, gerakan tubuh yang menarik perhatian, dan improvasi
humor-humornya, memicu munculnya imajinasi penikmatnya secara pribadi. Dalam
hal ini, pemahaman dan imajinasi menyatu dan tersimpan dalam ingatan jangka
panjang secara lebih kuat. Tiap-tiap anak memiliki imajinasi sendiri yang
dipengaruhi oleh latar belakang pengalaman dan kecenderungannya. Kesan pun
mengendap lebih retensif.
Selain
itu, pengunaan metode bercerita dengan teknik langsung ini dapat digunakan
bersama-sama dengan metode bercakap-cakap. Guru, tanpa dibebani untuk
memaksimalkan media dapat mendekati siswa, dapat bergerak kesana kemari, dan
melakukan tanya jawab dengan anak dengan leluasa. Guru dengan lebih seksama
dapat melihat reaksi anak dan mengevaluasi secara tentatif (bersifat sementara)
tingkat ketertarikan dan pemahaman mereka terhadap cerita. Hal ini
dimungkinkan, karena anak TK memiliki perilaku yang polos. Apabila bosan,
mereka tidak akan menunjukan perilaku pura-pura menyimak. Dengan tanpa beban,
anak-anak akan gaduh atau meninggalkan gurunya.
Bercerita
tanpa alat peraga dapat dipilih jika guru memiliki cerita yang bersmber dari
cerita turun temurun, cerita hasil kreasi sendiri, atau cerita yang sudah
mengendap. Sebaiknya dihindari bercerita secara langsung apabila guru belum
menguasai cerita dengan baik. Faktor lupa dan ketidaklancaran bertutur menjadi
masalah yang sering dihadapi guru.
Menurut
Wright teknik bercerita ini sebaiknya digunakan jika guru memiliki alasan
sebagai berikut. Pertama, anak-anak merasakan sesuatu yang bersifat pribadi,
yakni cerita dari guru, bukan dari buku. Sesuatu yang bersumber dari guru dapat
diharapkan memiliki hubungan dengan kehidupan anak, karena guru hidup dalam
lingkungan budaya yang relatf sama dengan anak. Cerita dari buku tidak
demikian.
Kedua,
cerita guru yang bersumber dari pengalaman sehari-hari memilki efek yang lebih
kuat pada anak. Cerita sehari-hari lebih mudah dicerna karena anak tidak
memerlukan proses inferensi yang rumit seperti jika mereka menyimak atau
membaca buku yang berasal dari ide imajinatif semata-mata.
Ketiga,
lebih mudah bagi anak untuk memahami cerita yang diceritakan secara langsung
daripada memahami cerita yang disampaikan melalui buku. Cerita yang dilisankan
memiliki karakteristik kebertuturan yang sama dengan karakteristik tuturan yang
didengarkan anak sehari-hari. Cerita langsung mengandung
pengulangan-pengulangan dan mungkin keseleo lidah seperti halnya tuturan yang
mereka dengar sehari-hari. Hal itu sangat membantu pembentukan pengetahuan anak
tentang dunia bahasa lisan dalam cerita langsung membantu anak mengidentifikasi
bahasa dalam interaksi sosial yang alamiah.
Keempat,
guru dapat melihat langsung reaksi anak dengan lebuh cepat. Karena guru lebih
leluasa bergerak dan tidak dibebani media, maka guru memiliki cukup waktu dan
perhatian untuk mencermati gerak-gerik dan respons anak. Jika dirasa ada
kesulitan, guru dapat keluar sejenak dari cerita untuk bertanya jawab dengan
anak.
Kelima,
guru memiliki gerak tubuh yang luwes dalam berbicara, sehingga guru dapat
menggunakan gerak tubuhnya untuk mendukung pemahaman anak tentang cerita. Gerak
tubuh yang tepat menguatkan makna kata-kata.
Keenam,
guru dapat menggunakan bahasa yang sama dengan anak, yakni kata-kata yang sama-sama
dimengerti anak dan guru. Bahasa yang yang sama ini sangat membantu anak
belajar memahami sesuatu yang tersirat di balik cerita. Bahasa yang sama
membantu anak untuk membangun kesepahaman dengan guru. Common ground yang
demikian membuat anak sedikit demi sedikitmembangunpengetahuannya.
f.
Mengekspresikan Karakter Tokoh
Cerita
anak pada dasarnya adalah wacana persuasif. Dikatakan demikian, karena cerita
anak mementingkan pendengar, guna mempengaruhi, meyakinkan, dan mendorong
perilaku tertentu. Cerita anak mementingkan perubahan agar anak-anak sebagai
penikmat dan pengalaman terkesan sehingga bereaksi karena berpengaruh cerita
tersebut. Ciri persuasif inilah yang sering mengantarkan fabel sebagai teks
yang didaktik, mendidik. Pada anak, persuasi itu berkaitan erat dengan
perkembangan emosi mereka.
Dalam
cerita anak, emosi anak dimainkan, diayunkan, guna mencapai efek didaktik.
Emosi anak dalam hal ini diartikan sebagai perasaan, gerak hati, serta
pengamatan mereka.
Karakter
tokoh dapat diekspresikan dengan berbagai cara, antara lain melalui ekspresi
visual (raut muka, mulut, mata, air muka, tangan) dan karakter ekspresi suara.
Dari pengekspresian ini dapat diketahui ciri-ciri tokoh seperti sifat-sifat
tokoh, perasaan, dan emosi tokoh. Ada dua karakter dasar tokoh, yakni karakter
baik dan karakter buruk. Yang termasuk karakter baik adalah : penggembira,
penolong, tulus hati, mengalah, solider, jujur, pemberani, cerdas, rendah hati,
disiplin, sopan, dan rajin. Yang termasuk karakter buruk adalah pemarah, sombong,
emosional, tidak sabar, bodoh, egois, pencuriga.
Tidak
semua karakter sifat tokoh tersebut dapat diekspresikan melalui fitur muka.
Meskipun demikian, guru dapat mengembangkan pengekspresikan karakter melalui
tiga ekspresi dasar yang dapat dikembangkan lebih jauh. Pertama, ekspresi
sedih. Ekspresi sedih ditunjukkan oleh raut muka yang menciut, alis menurun,
mulut mendekat ke hidung, mata redup tidak bercahaya, suara rendah tanpa irama.
Ekspresi ini dapat dikembangkan lebih jauh menjadi ekspresi menangis (dengan
menambahkan fitur sedu), bimbang (dengan menambahkan fitur gerak mata dan alis
yang berubah-ubah), takut dan khawatir (dengan menambahkan fitur gerak tangan
dan mulut gemetar, roman muka menciut). Melalui pengalaman sehari-hari, guru
dapat berlatih di depan kaca, bagaimana realisasi dari ekspresi tersebut. Tokoh
ini kadang cenderung memperoleh simpati anak, walaupun sering bertentangan
dengan apa yang mereka inginkan.
Kedua,
ekspresi gembira ditunjukkan antara lain oleh suara agak meninggi berirama,
penuh hentakan, wajah berseri dan mata bersinar, hidung sedikit mengembang, dan
ujung mulut yang cenderung tertarik ke atas. Kegembiraan bagi tiap-tiap orang
diekspresikan dengan cara yang berbeda. Meskipun demikian, pencerita perlu
menampilkan ekspresi universal semacam itu.
Ketiga,
ekspresi marah diwujudkan antara lain melalui suara yang keras, bernada tinggi,
mengandung stakato. Penekanan dilakukan terhadap kata kunci. Raut muka orang
marah ditandai dengan ketegangan pada alis dan penajaman pandangan mata,
pengerasan mulut, dan gerakan hidung mengembang. Warna kulit muka menjadi
merah. Ekspresi ini biasanya terjadi pada tokoh antagonis, yang diartikan
sebagai tokoh yang bertentangan dengan amanat cerita.
g.
Menirukan Bunyi dan Karakter Suara
Yang
dimaksud dengan bunyi dalam tulisan ini adalah bunyi esensial yang tidak
memiliki makna secara linguistik. Bunyi binatang yang dikenal dengan onomotope,
bunyi benda jatuh, bunyi ledakan, dan bunyi tabrakan dikategorikan sebagai
“bunyi” dalam arti ini. Walaupun tidak memiliki makna linguistik, bunyi-bunyi
itu memiliki arti penting dalam cerita. Bunyi-bunyi itu memberikan gambaran
sebuah peristiwa, memberikan informasi tokoh fabel apa yang sedang berbicara,
dan bagaimana tokoh memulai berbicara. Bunyi-bunyi itu harus dihadirkan dalam
cerita. Kehadirannya membuat cerita semakin dramatis dan menarik.
Di
samping menguasai berbagai suara binatang, guru juga perlu dapat menampilkan
berbagai karakter suara. Karakter suara dalam arti ini tidak hanya mencakup
fitur (ciri) identitas tokoh seperti usia, jenis kelamin, dan sifat, namun juga
karakter suara untuk fungsi bahasa tertentu.
Untuk
mengekspresikan suara, guru perlu mengenal ciri-ciri prosodi, yakni tekanan
(kata dan kalimat), intonasi, juga pola, melodi, dan waktu.Melalui ciri-ciri
ini guru dapat memberikan secara akurat fungsi linguistik apa yang sedang
diperankan tokoh.
h.
Menghidupkan Suasana Cerita
Karena
cerita umumnya dibawakan oleh pencerita tunggal, kesemarakan suasananya sangat
ditentukan oleh kepiawaian si pencerita. Sebuah cerita, walaupun tidak didukung
oleh pajanan riil, tetap akan menarik perhatian selama pencerita mampu
menghidupkan suasana cerita.
Suasana
cerita dalam pengertian ini diartikan sebagai keadaan yang menyertai proses
terjadinya penceritaan oleh guru kepada siswa. Situasi riil yang berhasil
diobservasi antara lain, gaduh, sunyi, antusias, dan penuh kegembiraan. Situasi
ini sangat dipengaruhi oleh kemampuan dan minat bercerita guru.
Ada
berbagai macam teknik untuk menghidupkan suasana cerita antara lain dengan
(1)Mengoptimalkan dialog tokoh-tokoh cerita, (2)Mengoptimalkan klimaks cerita,
(3)Membangkitkan humor di sela-sela cerita, (4)Melibatkan anak dalam cerita
melalui pertanyaan dan teguran, (5)Melakukan improvisasi dan interpolasi atau
penyisipan unsur-unsur lingual seperti kata-kata atau kalimat, (6)Memanfaatkan
alat bantu yang tersedia secara optimal, (7)Berolah suara, mimik dan pantomimik
sehingga membangkitkan minat dan semangat anak untuk terus menyimak.
Teknik-teknik tersebut sangat penting untuk diketahui dan diterapkan guru.
Kemampuan untuk memunculkan teknik tersebut menentukan kadar kemenarikan dan
kebermaknaan cerita. Oleh karena itu, masalah tersebut dibicarakan dalam bab
tersendiri.
i.
Memilih Diksi dan Struktur Kalimat
Kenyataan
di lapangan yang teramati menunjukkan bahwa guru sering bercerita dengan bahasa
orang dewasa. Artinya, kosakata yang digunakan sulit dicerna anak. Walaupun
anak menggunakan teknik tebak makna, hal itu tidak menepis fakta bahwa anak
mengalami kendala pemaknaan cerita.
Sebagai
pencerita, guru seyogyanya dapat memilih dan mengubah diksi dan struktur cerita
dengan cepat sesaat sebelum bercerita dan selama bercerita sesuai dengan usia
dan prakiraan kemampuan bahasa anak-anak. Kemampuan memprediksi ini penting
untuk menghasilkan sajian cerita yang memiliki kadar ketersimakan yang tinggi.
a. Pengertian Boneka Tangan
Boneka
merupakan media yang efektif yang dapat digunakan dalam pendidikan di taman
kanak-kanak. Boneka juga merupakan media yang dapat digunakan untuk menunjukkan
karakter-karakter yang digunakan ketika bercerita.
Boneka
adalah tiruan dari bentuk manusia bahkan sekarang termasuk tiruan dari bentuk
binatang. Sedangkan boneka tangan merupakan salah satu dari jenis-jenis boneka
yang digunakan dalam sandiwara boneka. Boneka tangan adalah boneka yang
ukurannya lebih besar dari boneka jari dan dapat dimasukkan ke tangan. Disebut
boneka tangan, karena boneka ini hanya terdiri dari kepala dan dua tangan saja,
sedangkan bagian badan dan kakinya hanya merupakan baju yang akan menutup
lengan orang yang memainkannya. Cara memainkannya adalah jari telunjuk untuk
memainkan atau menggerakkan kepala, ibu jari, dan jari tangan untuk menggerakan
tangan.
Boneka
termasuk media tiga dimensi atau model atau benda tiruan karena boneka dapat
terbentuk macam binatang, seperti kucing, ayam, bebek, dan lain-lain serta
boneka dengan karakter ayah, ibu, laki-laki dewasa, perempuan dewasa, anak
laki-laki, anak perempuan, nenek, kakek, dan sebagainya. Model boneka adalah
tiruan mengenai manusia dapat utuh, dapat pula hanya bagian-bagiannya saja.
Maksudnya adalah bisa berupa wujud manusia secara lengkap atau hanya
bagian-bagiannya saja seperti boneka tangan yang hanya terdiri dari kepala dan
dua tangannya saja.
Berdasarkan
teori-teori yang dikemukakan di atas maka dapat dideskripsikan bahwa boneka
tangan adalah sebagai salah satu media atau alat bantu berupa tiruan dari
bentuk manusia atau binatang, yang dapat digunakan sebagai media yang efektif
dalam pembelajaran di taman kanak-kanak. Boneka tangan berupa media yang
beberbentuk bagian-bagian tubuh yakni kepala dan dua tangan saja yang cara
memainkannya adalah jari telunjuk untuk memainkan atau menggerakan kepala, ibu
jari, dan jari tangan untuk menggerakkan tangan.
Metode sandiwara boneka merupakan salah
satu bentuk metode bercerita yang menggunakan boneka sebagai media dalam
pembelajaran. Moeslichatoen mengartikan metode sandiwara boneka merupakan salah
satu metode bercerita dengan menggunakan media boneka.
Boneka yang digunakan dapat berupa jari, boneka tangan, panggung boneka ataupun
wayang. Pemilihan boneka tergantung pada usia anak dan pengalaman anak serta
harus menunjukkan perwatakan pemegang peran tertentu.
Sandiwara
boneka merupakan salah satu metode yang efektif dalam membantu anak usia muda
dalam mempelajari bentuk-bentuk perilaku. Anak-anak sanga tertarik dengan
boneka boneka, untuk itu dibuatlah boneka tangan yang semenarik mungkin untuk
menarik minat anak di dalam kegiatan bercerita.
Berdasarkan beberapa pendapat yang
dikemukakan oleh beberapa ahli di atas, maka metode bercerita boneka ini adalah
salah satu metode bercerita tanpa alat peraga langsung. Artinya, suatu kegiatan
bercerita yang dilakukan oleh tutor dengan menggunakan media boneka. Sandiwara boneka
dilakukan dengan beberapa boneka yang menunjukkan karakter seseorang, atau
hewan yang khusus.
Sandiwara
boneka digunakan sebagai metode pembelajaran yang sangat tepat terutama untuk
kategori anak-anak karena di dalam sandiwara ini cerita yang disampaikan sangat
membantu anak untuk pembentukkan sikap, kemampuan, berbahasa serta
mengembangkan imajinasi anak.
Sandiwara
boneka sebagai komponen dari strategi pembelajaran memliki beberapa tujuan,
antara lain melatih daya tangkap, pikir dan konsentrasi, melatih membuta
kesimpulan, membantu perkembangan intelengensi dan perkembangan fantasi anak,
mengembangkan imajinasi anak, serta menciptakan suasana yang menyenangkan di
kelas.
Ahli
lain yang memaparkan tujuan sandiwara boneka diantaranya Bromley mengemukakan
tujuan dari sandiwara boneka adalah “puppets
provide shy children with vehicle for expressing themselves and release for all
children to be crearive in their resposes and interpretations.
Berdasarkan
uraian tersebut diambil kesimpulan bahwa tujuan umum penggunaan metode
sandiwara boneka ini adalah untuk mengembangkan kemampuan dasar dan
pembentukkan perilaku serta mengembangkan kemampuan berbahasa, kognitif, fisik,
dan seni. Tujuan pembentukkan perilaku yaitu mengembangkan konsep diri positif,
empati, pemahaman, dan penerapan norma. Sandiwara boneka ini dapat meningkatkan
kepercayaan diri anak yang pemalu untuk mengekspresikan dirinya dan merangsang
anak menjadi kreatif di dalam merespon dan menginterpretasikan karakter melalui
boneka tangan.
Sandiwara
boneka sebagai komponen dari strategi pembelajaran memiliki beberapa tujuan,
antara lain melatih daya, tangkap, daya pikir, konsentrasi, melatih membuat
kesimpulan, membantu perkembangan intelegensi dan perkembangan fantasi anak.
Dalam
kompetensi bercerita dengan alat peraga, peneliti menganggap bahwa media
bonekalah yang paling tepat untuk menjadi alat peraga dalam bercerita. Media
boneka dapat merangsang warga belajar untuk menuangkan ide-ide cerita mereka
sebagai tokoh dalam boneka tersebut.
Adapun penggunaan boneka tangan dalam metode penyampaian
cerita merupakan suatu media, alat atau perantara yang secara fisik digunakan
oleh guru untuk memudahkan dalam penyampaian cerita kepada siswa untuk
mengembangkan ide, gagasan, dan imajinasi yang akan dituangkan dalam bentuk
gambar ekspresi. Hal tersebut sesuai dengan yang dikemukakan oleh Santon S.
Handjojo bahwa media adalah semua bentuk perantara yang dipakai oleh orang
untuk menyebar ide, sehingga ide atau gagasan yang dikemukakan itu bisa sampai
pada penerima.
Jadi
selain dapat memupuk dan mengembangkan imajinasi bagi anak, cerita juga dapat
memberikan kegembiraan, pengalaman, mengembangkan wawasan dan sebagainya.
Charles D. Gaitsell mengemukakan
pendapatnya tentang manfaat boneka tangan, yaitu sebagai berikut: “puppetry can carry children in to language
computatins, and history as they go about gathering information. Moreover
puppetery is a enjoying popularity with language ats as will as visual art
teacher.”
Boneka tangan bisa membawa anak-anak ke dalam pengembangan seni dan sejarah
sebagaimana mereka keluarkan untuk mengumpulkan informasi. Terlebih lagi boneka
tangan itu menyenangkan anak dengan seni dan visual nya guru.
George
W.Maxim mengatakan pendapatnya tentang boneka tangan adalah sebagai berikut:
Pantomime, role playing, puppetery, and
forms of dramatic play help children make sense out of their thought, ideas,
moods, and feelings through dramatic activity, and truly creative teacher will
provide many opportunities for them to young children love to experiment with
new words, new ideas, and new ways of doing things as they enter the world of
truckers, pilots, husekeppers.
Pantomim,
bermain peran, boneka tangan dan bentuk permainan lainnya membantu anak
memahami lingkungan mereka dan memungkinkan mereka untuk berkespresi sesuai
dengan kesadaran atau pemahaman tersebut melalui gerakan tubuh dan bahasa.
Anak-anak kecil itu mau dan ingin sekali
untuk mengekspresikan ide, pikiran, perasaan mereka, melalui aktivitas
dramatik, dan guru yang benar-benar kreatif akan memberikan banyak kesempatan
bagi mereka untuk melakukan. Anak-anak senang berkespremen dengan kata-kata
baru, ide baru, cara baru untuk melakukan sesuatu ketika diam memasuki dunia
seperti: supir truk, pillot, dokter, atau penjaga rumah. Penyampaian cerita
dengan media boneka tanagan melalui gerak tubuh dan bahasa, dapat membantu anak
mengekspresikan pikiran dan perasaan mereka ke dalam kegiatan mengambar. Dan
anak pun senang berkeksperimen dengan kata-kata baru, ide-ide baru dan cara-cara
baru untuk melakukan sesuatu dalam ekspresi.
Boneka adalah mainan berupa anak-anakan
atau orang-orangan yang biasa dimainkan oleh anak kecil maupun orang dewasa.
Nama lain boneka adalah puppets. Puppets diambil dari nama lain pupa. Nama
puppets dikutip dari egyptian tombs (sejarah makam mesir kuno). Sedangkan
menurut sumber Yunani, pada awal sekitar 300 sm orang yang memainkan boneka
atau pupa disebut “puppetress”. Earl
W. Linderman membagi jenis boneka menurut bahan dan cara penggunannya. Ia
membagi jenis boneka menurut bahan dan cara penggunannya. Ia membagi dalam tiga
kelompok besar yaitu:
(a) Hand
puppets adalah boneka tangan yang cara memainkannya menggunakan sarung tangan,
terdiri dari “sock puppets”, cloth puppets (boneka handuk), puppets mach,bag
puppets, and finger puppets. Stick puppets adalah boneka yang dimainkan dengan
menggunakan tongkat. Indonesia mengenalnya dengan sebutan wayang c)hanging
puppets adalah boneka yang cara memainkannyadengan digantung, sehingga penonton
melihatnya seolah dapat erjalan atau bergerak.
(b) Bercerita
atau mendongeng menggunakan boneka tangan
Bercerita bisa saja menggunakan alat
peraga. Menurut Simanjuntak dalam Agus, boneka dapat digunakan sebagai alat
peraga untuk membawakan cerita kepada anak-anak karena boneka merupakan alat
peraga yang dekat dengan mereka.
Boneka menjadi sesuatu yang menarik perhatian anak. Hampir semua anak terutama
anak perempuan menyukai boneka. Boneka dapat dijadikan media edukatif untuk
kegiatan pembelajaran di kelas. Guru dapat menggunakan boneka tangan untuk
metode bercerita di kelas.
Di
masa kanak-kanak imajinasi berkembang pesat. Boneka dapat mengantarkan
anak-anak ke dalam imajinasi.
Pada saat boneka berbicara, anak menganggap bahwa suaa tersebut benar-benar
berasal dari boneka. Hal ini dapat merangsang daya imajinasi anak usia 5-6
tahun yang sedang berkembang.
Dalam
metode bercerita, anak tidak hanya berfungsi sebagai penyimak atau pendengar
saja, tetapi juga dapat terlibat di dalam cerita. Bahkan guru bisa memberi
kesempatan anak untuk bercerita. Dengan
demikian, ketrampilan sosial anak dapat meningkat pula. Namun itu, semua
disesuaikan dengan situasi dan kondisi di dalam kelas.
Ada
berbagai macam jenis boneka tangan berdasarkan bahan pembuatannya. Hand puppets, which are made from solid,
three dimensional materials, such as paper bags, and papier mache.Boneka
tangan dibuat dari bahan yang kuat berbentuk tiga dimensi, seperti kertas, kaos
kaki, and papier mache.
Boneka
tangan sangat mudah dibuat. Dapat terbuat dari kertas yang sebelumnya telah
digambar terlebih dahulu, atau menggunakan kain sebagai bahan lainnya.
Boneka
tangan memiliki bahan dasar pembuatannya. Simanjuntak mengungkapkan ada
beberapa bahan pembuatan boneka tangan, yaitu (1)boneka dari kain, (2)boneka
dari kertas/karton, (3)boneka dari berbagai bahan dasar.
Boneka tangan kain umumnya terbuat dari kain flanel dan kain perca. Biasanya,
kain flanel untuk boneka tangan ukuran besar, sedangkan kain perca untuk boneka
ukuran kecil. Bisa juga boneka tangan sederhana terbuat dari karton. Untuk
bahan lainnya, guru atau pencerita dapat menggunakan bahan-bahan seperti kardus
susu, botol air mineral, dan lain sebagainya yang memungkinkan untuk dijadikan
boneka tangan.
Bercerita
disesuaikan dengan usia anak. Pemilihan bercerita dengan menggunakan boneka
akan tergantung pada usia dan pengalaman anak.
Anak usia 5-6 tahun biasanya belum mampu untuk mendengarkan cerita yang berat.
Cerita dengan isi yang sederhana adalah
pilihan yang tepat. Cerita sederhana tersebut dapat berkaitan dengan keseharian
anak. Anak lebih menyukai suara yang berasal dari boneka dan melihat boneka
tersebut ketimbang jalan ceritanya. Guru dapat melakukan improvisasi mengenai
isi cerita. Bahkan guru dapat mengarang sendiri cerita yang dibawakan, yang
sesuai dengan kondisi anak saat itu.
Mendongeng
atau bercerita dengan boneka sedikit berbeda dengan alat peraga lainnya.
Mendongeng dengan alat peraga boneka memerlkukan sedikit ketrampilan karena
tokoh yang akan dibawakan atau boneka yang dipegang harus sesuai dengan
karakter dalam cerita.
Seseorang yang bercerita dengan menggunakan media boneka harus mahir
menggunakan boneka dan penuh improvisasi, dan mengetahui jalan cerita secara
penuh.
b. Teknik Bercerita
menggunakan boneka tangan
Boneka tangan mengandalkan
ketrampilan guru dalam menggerakan ibu jari dan telunjuk yang berfungsi
sebagai tulang tangan. Boneka tangan
biasanya disesuaikan dengan ukuran tangan dan dapat digunakan tanpa alat bantu
yang lain. Jika teknik yang dibawakan pencerita baik, maka anak akan tertarik
pada cerita.
Ada
hal-hal yang perlu diperhatikan oleh pencerita saat bercerita menggunakan media
boneka tangan. Menurut Priyono, teknik berceritanya adalah sebagai berikut: (1)
Jarak boneka tangan harus agak jauh dari mulut, (2) kedua belah tangan harus
lentur dalam memainkan boneka, (3) Bisa diiringi musik untuk menambah suasana,
(4) Libatkan anak-anak dalam adegan cerita yang dibawakan, (5) Sesekali adakan
dialog antara tokoh boneka dan pendengarnya atau penonton, (6) Suara karakter
dari tokoh cerita dongeng harus pas sesuai peran, (7) Ajak anak bernyanyi
bersama boneka guna memperoleh keterikatan dalam cerita dongeng, (8) seusai
mendongeng jangan lupa ulas pesan yang terkandung dalam dongeng tersebut;
boneka seolah-olah berbicara pada anak.
Guru dapat menggunakan berbagai macam teknik dalam menggunakan metode bercerita
dalam kelas. Namun semua itu harus dissuaikan dengan kondisi tempat dan suasana
yang ada dalam kelas. Jika memungkinkan
untuk diiringi musik, guru dapat menggunakan musik. Jika kondisi anak
memungkinkan untuk anak diajak bernyanyi, guru dapat menyelipkan lagu ke dalam cerita dan
meminta nak bernyanyi bersama.
Dalam
bercerita atau mendongeng menggunakan boneka tangan, anak dapat dlibatkan ke
dalam inti cerita dengan cara menanyakan sesuatu hal yang berkaitan dengan isi
cerita. Anak secara tidak sadar akan terangsang untuk berbicara. Disinilah
dapat dilihat seberapa jauh anak ingin berbicara. Biasanya, mereka sangat
tertarik pada boneka.
Umumnya,
tidak lebih dari lima boneka yang digunakan pada saat yang bersamaan saat
bercerita. Tokoh boneka tangan yang digunakan oleh guru tidak perlu banyak.
Guru dapat meminta beberapa anak untuk memainkan boneka agar anak semkain
terlibat dalam cerita. Namun, guru tidak perlu menunjuk lebih dari lima anak
dalam setiap cerita.
Bercerita
melibatkan emosi yang sesuai pada isi cerita. Ketika menuturkan kisah dan pesan
moral, guru dan orang tua juga harus bisa menampilkan emosi yang tepat dan sesuai dengan sikap
yang dituturkan itu.
Segala emosi dan sikap harus disesuaikan dengan cerita yang dibawakan guru. Hal
ini agar anak bisa menjiwai cerita yang dibawa.
Berdasarkan
uraian di atas, dapat dsimpulkan bahwa ada berbagai macam teknik yang dapat
guru lakukan dengan menggunakan metode bercerita di dalam kelas. Guru harus
mmapu melihat tingkatan umur anak, anak berusia 5-6 tahun bebrbeda dengan anak
usia 7-8 tahnu, teknik berceritanya pun bebrbeda. Untuk anak usia 5-6 ahun,
salah satu alat peraga yang cocok adalah boneka tangan. Hal ini dikarenakan
anak usia tersebut belum sepenuhnya mampu mengikuti alur cerita. Mereka lebih
tertarik pada boneka dan suara yang dihasilkan boneka tersebut.
Boneka
yang digunakan dalam pementasan sandiwara boneka terdiri dari bermacam-macam
bentuk dan cara penggunaannya. Menurut Bromley jenis-jenis boneka adalah finger
puppet, glove puppet, stick puppet, styrofoam ball puppet, box puppet, sock
puppet, shadow puppet, rubber ball puppet, dan human board puppet.
Finger
puppet (boneka jari)terbuat dari bahan halus yang dapat dimasukkan ke dalam
jari-jari tangan. Glove puppet (boneka sarung tangan) adalah boneka yang
terbuat dari sarung tangan yang di ujung jari-jarinya terbentuk aneka tokoh
yang dapat berupa binatang atau tokoh-tokoh lainnya. Stick puppet atau (boneka
tongkat) terbuat dari karton yang dikaitkan di tongkat panjang. Stryrofoam ball
puppet boneka yang terbuat dari sterofom. Box puppet (boneka kotak) boneka yang
terbuat dari kotak yang sudah tidak terpakai lagi. Sock puppet (boneka kaos
kaki) boneka ini terbuat dari kaos kaki yang diujungnya berbentuk macam-macam
tokoh. Shadow puppet (boneka bayangan) adalah boneka yang terbuat dari tongkat
kosong yang diberi lubang pada wajah untuk memainkannya.
Senada
dengan hal di atas maka macam-macam boneka menurut Petter cara pemakaiannya
yaitu: hand puppets (boneka tangan), glove finger puppets (boneka jari), rod puppets (boneka kayu), marionette (boneka tali).Hand puppets (boneka tangan) umumnya
hanya bagian kepala dan pakaian yang longgar untuk menutup tangan dalang dan
membantu tangan dalang dari penonton. Jari telunjuk terletak di kepala boneka
ibu jari serta jari tengah mendorong ke dalam lengan baju agar dapat
digerakkan. Boneka tangan ini digerakkan dari bawah panggung jika menggunakan
panggung boneka.
Glove finger puppet (boneka jari),
boneka ini dapat dibuat dengan menggunakan sarung tangan yang digunting hanya
pada bagian jari telunjuk dan jari tengah saja yang kemudian ditempelkan. Untuk
bagian kepala dapat menggunakan potongan gambar kemudian ditempelkan pada
bagian atas kedua jari tadi. Rod puppet
(boneka kayu) dibuat dari kayu dengan bagian-bagian badan yang merupakam bagian
dari kayu. Boneka kayu digerakkan dari bagian bawah dengan cara menggerakkan
kayu-kayu yang menghubungkan bagian tubuh dari boneka tersebut. Contohnya
wayang golek. Marionette (boneka
tali) digerakkan oleh dalang yang berbeda di belakang dan di atas panggung
dengan cara menarik-narik barang yang menghubungkannya dengan anggota badan
dari kepala boneka tersebut.
Menjadi
seorang guru untuk anak usia dini diperlukan ketrampilan untuk dapat
memanfaatkan barang-barang bekas untuk dapat dijadikan media dalam
pembelajaran. Begitu juga dengan barang-barang bekas yang dapat digunakan
menjadi boneka. Contohnya kaos kaki dan sarung tangan bekas bisa menjadi sebuah
boneka dengan diberi mata. Piring kertas bekas tempat makan, kardus telur juga
bisa dijadikan boneka yang menarik bagi anak.
Berdasarkan
beberapa pengertian yang diungkapkan oleh para tokoh tentang macam-macam
boneka, maka dapat dideskripsikan bahwa banyak bentuk boneka yang dapat
digunakan dalam melakukan kegiatan bercerita. Salah satunya adalah kegiatan
bercerita yang dapat menggunakan boneka tangan. Bentuk boneka dengan bentuk
sebagian dalam arti hanya wajah dan kedua tangan, yang digunakan oleh dalang
dengan memasukkan tangan ke dalam boneka tangan tersebut. Bentuk-bentuk boneka
tangan bisa berupa bentuk ayah, ibu, kakak, adik, dll. Juga bisa berupa
binatang tiruan seperti bebek, ayam, burung, kucing, dll. Dengan membawakan
karakter masing-masing dalam setiap cerita.
d. Tujuan bercerita dengan boneka tangan
Bercerita
dengan boneka tangan merupakan metode yang tepat digunakan dalam pendidikan di
taman kanak-kanak. Metode bercerita dengan boneka tangan dapat memberikan hubungan
kedekatan antara guru dengan anak, sehingga dengan mudah menyisipkan pesan
moral kepada anak untuk membentuk nilai moral anak, perkembangan emosi dan
dapat mengembangkan aspek lainnya.
Hal ini
sesuai dengan yang dikatakan Moeslichatoen bahwa dalam kegiatan bercerita anak
dibimbing untuk mengembangkan kemampuam untuk mendengarkan yang bertujuan untuk
memberikan informasi atau menanamkan nilai-nilai sosial, moral,dan keagamaan,
pemberian informasi tentang lingkungan fisik dan lingkungan sosial.
Pernyataan
ini dapat diartikan bahwa tujuan dari kegiatan bercerita tidak hanya
mengembangkan salah satu aspek kecerdasan anak saja tetapi dari segi emosi,
moral, dan pemberian informasi dari lingkungannya. Maksud dari pemberian
informasi dari lingkungannya adalah bagaimana anak belajar tentang lingkungan
fisik di sekitarnya selain manusia misalkan binatang, kejadian di rumah dan
lain sebagainya.
Senada
dengan hal di atas menurut Gunarti adapun tujuan dari metode bercerita adalah
sebagai berikut: (1)Mengembangkan kemampuan berbahasa, (2) Mengembangkan
kemampuan berbahasa, (3)Menanamkan pesan-pesan moral, (4)Mengembangkan kepekaan
sosial emosional anak, (5) melatih daya ingat, (6) mengembangkan potensi
kreatif anak melalui keragaman ide cerita yang dituturkan.
Pendapat
ini dapat didefinisikan bahwa banyak sekali terdapat tujuan dari metode
bercerita yakni akan mengembangkan kemampuan berbahasa anak, karena dengan
bercerita anak akan mendengarkan dengan baik dan anak akan menerima banyak kosa
kata baru yang diceritakan oleh guru, juga dapat mengembangkan pesan moral yang
terkandung di dalamnya contoh ketika dalam bercerita guru menyisipkan nilai
moral tentang menolong maka nilai moral tersebut yang akan di internalisasikan
dalam dirinya sehingga terbentuklah sikap yang baik dalam diri anak yang
disetujui oleh lingkungan sosialnya.
Pendapat
tersebut dikuatkan dengan teori yang oleh Petty dan Jensen bahwa puppetery gives children an emotional
outlet, for the very imaginative child, puppets are an excellent vehicle of self
expressions and many children use pupets as friends who can both listen and
talk.Hal
ini dapat diartikan bahwa metode bercerita dengan boneka dapat juga memacu
kondisi emosional anak, untuk beberapa anak yang sangat imajinatif, bercerita
dengan boneka adalah sarana yang luar biasa untuk mengekspresikan diri. Banyak
anak yang menjadikan boneka sebagai teman berbicara dan teman untuk
mendengarkan.
Berdasarkan
beberapa pendapat dari tokoh di atas maka dapat dideskripsikan bahwa tujuan
bercerita dengan boneka tangan adalah untuk memberikan informasi kepada anak
dalam menanamkan nilai-nilai moral, sosial emosi, mengembangkan kemampuan
berbahasa, melatih daya ingat, mengasah daya berpikir anak.
e. Langkah-langkah
Pelaksanaan Bercerita dengan Boneka Tangan
Sebelum
kegiatan bercerita dimulai, guru harus melakukan beberapa persiapan. Persiapan
yang baik sangat menentukan kelancaran dalam kegiatan bercerita, juga untuk
menghindari hal-hal yang tidak diinginkan ketika kegiatan berlangsung, seperti
menghindari kekacauan pada anak dalam menyimak cerita.
Adapun
langkah-langkah pelaksanaan kegiatan bercerita dengan boneka tangan menurut
Suryani bahwa bercerita dengan menggunakan boneka tangan adalah kegiatan
bercerita dengan menggunakan alat tidak langsung.
Karena kegiatan bercerita menggunakan alat-alat tiruan seperti binatang tiruan,
orang tiruan, dan lain-lain. Adapun langkah-langkah yang harus dilakukan oleh
seseorang guru dalam melakukan kegiatan bercerita dengan boneka tangan
meliputi: (1) Siapkan segala perlengkapan yang akan digunakan, boneka, panggung
kecil, tape recorder(2) Mengatur posisi duduk anak agar anak merasa nyaman, (3)
Mengemukakan kalimat prolog sebelum adegan cerita dimulai diiringi musik
pengiring sambil menyebutkan isi cerita(4) Apabila mengunakan panggung, maka
bukalah layar panggung kemudiam kenali tokoh boneka satu persatu, (5) Memulai
adegan demi adegan yang diperankan oleh boneka tersebut secara bergantian,
diiringi dengan musik pengiring. Ketika suatu adegan akan berganti dengan
adegan lain, tutuplah layar kembali dan turunkan boneka dari arah kanan ke kiri
dan sebalinya, boneka tidak diturunkan dari atas ke bawah seolah-olah tenggelam
(6) Ketika cerita sudah selesai dituturkan, guru dapat mengemukakan beberapa
pertanyaan seputar cerita tersebut, misalnya tentang judul cerita, tokoh
ceritadan isi cerita. Bisa juga meminta pendapat anak tentang cerita tersebut.
Dapat pula agar anak memperagakan karakter suatu tokoh atau suatu kejadian
dengan cerita tersebut, (7) Selanjutnya bersama-sama dengan anak-anak
menyimpulkan isi cerita tersebut, termasuk pelajaran dari isi cerita juga
mencari solusi terbaik dari permasalahan yang ada dalam cerita tersebut, (8)
Akhiri kegiatan cerita dengan meminta anak untuk menceritakan kembali isi
cerita dan tutup kegiatan dengan nyanyian yang menggambarkan isi cerita
tersebut.
Berdasarkan
pendapat tersebut maka dapat dideskripsikan bahwa pelaksanaan metode bercerita
dengan boneka tangan dapat dilakukan melalui tiga kegiatan yakni kegiatan
pembuka, inti dan penutup
Kegiatan
pembuka dapat dilakukan dengan menyiapkan alat-alat (boneka) yang diperlukan,
membaca doa sebelum kegiatan, mengatur posisi duduk anak, menyampaikan
peraturan permainan kepada anak sebelum cerita dimulai, menyampaikan judul
cerita. Kegiatan inti dapat dilakukan dengan memperkenalkan tokoh-tokoh boneka
yang akan diperankan, memulai kegiatan bercerita dengan boneka tangan. Kegiatan
penutup dapat dilakukan dengan menyimpulkan isi cerita, memberikan beberapa
pertanyaan yang dilontarkan kepada anak tentang pesan moral yang disampaikan.
C.
Penelitian
yang Relevan
Adapun
hasil-hasil penelitian yang dianggap relevan oleh peneliti adalah
penelitian-penelitian yang berkaitan dengan nilai-nilai moral dan metode
bercerita.
Penelitian
yang berkaitan dengan perilaku moral yaitu penelitian oleh Fifin Anetta,
pendidikan Anak Usia Dini melalui penelitiannya yang berjudul Peningkatan
Perilaku Moral Melalui Strategi Pembelajaran Karakter Pada Anak Usia Dini
(Penelitian Tindakan pada Anak Usia 4-5 tahun di Komimo Playschool Cilangkap,
Jakarta Timur )merupakan mahasiswa Universitas Negeri Jakarta, 2013.
Adapun hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa strategi pembelajaran karakter
yang dilakukan dalam kegiatan bermain dan penanaman karakter ‘ala anak’ yang
dapat mengasah pemahaman dan kepekaan moral anak dan memudahkan anak melakukan perilaku mandiri dan disiplin.
Terdapat peningkatan perilaku yang signifikan sebelum dan sesudah tindakan.
Implikasi dari penggunaan diharapkan berdampak bagi peningkatan nilai-nilai
moral bagi pembentukan karakter yang relevan sesuai dengan situasi kondisi anak
usia dini.
Adapun
hasil penelitian lain yang berhubungan dengan metode bercerita yang relevan
adalah penelitian Chairul Amriyah, melalui penelitiannya yang berjudul Upaya
Meningkatkan Kecerdasan Emosional Anak Melalui Metode Bercerita (Penelitian
Tindakan pada TK Al-Hikmah Lampung) Merupakan mahasiswa Universitas Negeri
Jakarta, 2007.
Adapun hasil penelitiannya adalah terdapat pengaruh positive signifikan antara
peningkatan kecerdasan emosional dengan metode bercerita. Setelah melihat hasil
pengamatan yang dilakukan oleh peneliti, kolaborator serta diadakan refleksi
disimpulkan bahwa pada siklus ketiga penguasaan kemampuan sosial emosional anak
telah mencapai sesuai dengan kriteria yang ditetapkan yaitu anak menguasai
kemampuan sosial emosional yang diajarkan
ditandai dengan dapat berinteraksi dengan orang lain, dapat mengenal
disiplin, dapat menunjuk reaksi emosi yang wajar dapat menjaga keamanan diri,
dan dapat berempati. Dalam pelaksanaan pengembangan kemampuan sosial emosional
tersebut bahan, atau metode dan teknik penyajiannya perlu disesuaikan dengan
situasi dan lingkungan setempat. Dengan demikian apa yang menjadi fokus
perhatian penelitian yaitu meningkatkan kecerdasaan emosional anak telah
tercapai sesuai dengan tujuan, permasalahan yang ditemukan pada saat
praobservasi telah dapat teratasi.
Hasil
penelitian lain yang berhubungan dengan metode bercerita yang relevan adalah
penelitian Sri Rejeki, melalui penelitiannya yang berjudul Peningkatan
Kemampuan Menyimak Melalui Metode Bercerita (Penelitian Tindakan di SD Islam
Terpadu Insan Mandiri kela II Jakarta)merupakan mahasiswi Universitas Negeri
Jakarta, 2009.
Adapun hasil penelitiannya adalah Ada perbedaan yang positive signifikan dalam
kemampuan menyimak anak antara sebelum dan sesudah diberikan tindakan
penelitian. Untuk meningkatkan kemampuan menyimak dalam pelajaran bahasa
Indonesia khususnya mendengarkan cerita. Terutama pertama pada aspek kognitif
yaitu menyebut nama tokoh yang ada dalam dongeng, mengingat fakta kejadian
tentang tempat dan waktu, mengingat urutan cerita, menganalisa cerita,
menginterpretasi cerita, mengelaborasi isi cerita dan mengevaluasi isi cerita.
Aspek afektif yaitu mendengarkan dengan seksama, duduk tenang, kontak mata, dan
minat pada cerita. Ketiga aspek psikomotor yaitu mengajukan dan menjawab
pertanyaan, berani menceritakan kembali, menuliskan kembali cerita, dan
tertarik atau menggunakan media atau alat peraga lain. Ketiga aspek pada
kemampuan menyimak dapat ditingkatkan dengan menggunakan metode cerita. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa melalui metode bercerita dapat meningkatkan
kemampuan menyimak anak.
Hasil
penelitian lain yang berhubungan dengan metode bercerita yang relevan adalah
penelitian Khamidun, melalui penelitiannya yang berjudul Peningkatan Perilaku
Berwawasan Lingkungan Anak Usia Dini melalui metode Bercerita (Penelitian
Tindakan di TK alazhar 23 salatiga tahun 2010) mahasiswa Universitas Negeri
Jakarta, 2011.
Adapun hasil penelitiannya adalah terdapat peningkatan yang signifikan pada
pembiasaan perilaku berwawasan lingkungan anak usia dini melalui metode
bercerita dari sebelum dan sesudah tindakan.Dengan pembelajaran melalui metode
bercerita secara bervariasi dan bimbingan serta penguatan yang intensif maka
akan terjadi peningkatan pembiasaan perilaku berwawasan lingkungan pada anak
usia dini.Setiap metode bercerita memiliki karakteristik yang berbeda dan oleh
karenanya penerapannya sebaiknya dilakukan secara bervariasi sesuai dengan
tujuan pembelajaran yang ingin dicapai.