Senin, 27 April 2015

PENINGKATAN PERILAKU MORAL MELALUI METODE BERCERITA



Peningkatan Perilaku Moral Melalui Metode Bercerita (Penelitian Tindakan Pada PAUD Anak Bangsa Kota Serang, Tahun 2014)”
(Nopiana, 211191)


A.   Konsep Penelitian Tindakan
Penelitian Tindakan Kelas (PTK) atau Classroom Action Research merupakan suatu model penelitian yang dikembangkan di kelas. Mengutip dari Arikunto, Penelitian Tindakan Kelas diuraikan sebagai berikut:
Penelitian – menunjuk pada suatu kegiatan mencermati suatu objek dengan menggunakan cara dan aturan metodologi tertentu untuk memperoleh data atau informasi yang bermanfaat dalam meningkatkan mutu. Tindakan – menunjuk pada sesuatu gerak kegiatan yang sengaja dilakukan dengan kondisi tertentu. Dalam penelitian berbentuk rangkaian siklus kegiatan untuk siswa. Kelas – dalam hal ini tidak terikat pada pengertian ruang kelas, tetapi dalam pengertian yang lebih spesifik, yaitu: sekelompok siswa dalam waktu yang sama, menerima pelajaran yang sama dari guru yang sama pula.[1]

Penelitian Tindakan menurut Lewin adalah suatu rangkaian langkah yang terdiri atas empat tahap, yakni perencanaan, tindakan, pengamatan dan refleksi.[2]
Menurut Ebbut dalam Hopkins, penelitian tindakan adalah kajian sistematik dari upaya perbaikan pelaksanaan praktik pendidikan oleh sekelompok guru dengan melakukan tindakan-tindakan dalam pembelajaran, berdasarkan refleksi mereka mengenai hasil dari tindakan-tindakan tersebut.[4]Sedangkan menurut Carr& Kemmis, penelitian tindakan kelas adalah suatu bentuk penelitian refleksi diri kolektif yang dilakukan oleh peserta-pesertanya dalam situasi sosial untuk meningkatkan penalaran dan keadilan praktik pendidikan dan praktik sosial mereka serta pemahaman mereka terhadap praktik-praktik mereka dan terhadap situasi tempat praktik-praktik tersebut dilakukan.[3]
Sedangkan menurut Bogdan & Biklen dalam Burns, penelitian tindakan merupakan pengumpulan informasi yang sistematis yang dirancang untuk menghasilkan perubahan sosial. Menilik pada pengertian di atas, maka kegiatan Penelitian Tindakan terkait dengan persoalan praktek pembelajaran sehari-hari yang dihadapi oleh guru. Dalam penelitian tindakan ini, guru menjalankan metode pembelajaran terkendali yang berdaur ulang dan bersifat reflektif, dengan tujuan untuk melakukan perbaikan-perbaikan terhadap pola dan metode pendidikan yang akan dijalankan di PAUD Anak Bangsa.
Penelitian tindakan kelas memiliki empat tahap yaitu Planning (rencana), Action (tindakan), Observation (pengamatan) dan Reflection (refleksi). Berikut tahapan-tahapan yang akan dilakukan dalam meningkatkan perilaku moral anak usia dini:
1.    Planning (Rencana)
Rencana merupakan tahapan awal yang dilakukan sebelum melakukan penelitian. Untuk menyusun rencana penelitian tindakan ini, diadakan diskusi dengan para guru untuk membangun suatu kesamaan persepsi tentang pembelajaran karakter dan merancang tujuan dan pola pembelajaran yang fleksibel untuk menerima efek-efek yang tak terduga;dengan perencanaan yang baik diharapkan para guru akan lebih mudah untuk mengatasi kesulitan dan bertindak lebih efektif.
2.    Action (Tindakan)
Tindakan merupakan penerapan dari perencanaan yang telah dibuat. Tindakan yang dilakukan berupa penerapan dari metode bercerita yang telah dirancang untuk memperbaiki atau menyempurnakan metode yang dijalankan di PAUD Anak Bangsa. Tindakan dilakukan dengan beberapa kali aksi (pertemuan) oleh para murid yang terlibat langsung dalam pelaksanaan kegiatan bercerita yang hasilnya akan dipergunakan untuk menyempurnakan metode bercerita yang dilaksanakan di lembaga PAUD.
3.    Observation (Pengamatan)
Pengamatan/observasi berfungsi untuk melihat dan mendokumentasikan pengaruh-pengaruh yang diakibatkan selama tindakan metode bercerita berlangsung dalam kegiatan di kelas TK B. Pengamatan yang dilakukan menceritakan keadaan yang sesungguhnya sehingga hasil pengamatannya dapat menjadi dasar dilakukannya refleksi. Dalam pengamatan, hal-hal yang perlu dicatat oleh peneliti adalah proses dari tindakan, efek-efek tindakan, lingkugan dan hambatan-hambatan yang muncul.
4.    Reflection (Refleksi)
Refleksi meliputi: kegiatan analisis, sintesis, penafsiran (interpretasi), menjelaskan dan menyimpulkan. Para guru yang terlibat akan menganalisa hasi dari observasi sebagai refleksi untuk menentukan diadakannya revisi yang dapat dipergunakan untuk memperbaiki kinerja guru pada pertemuan selanjutnya sebagai planning (perencanaan) untuk siklus berikutnya.

B.    Konsep Model Tindakan
1.  Hakikat Perilaku Moral Anak Usia Dini
a.  Pengertian Perilaku Moral
Anak dinilai baik dan tidaknya dapat dilihat dari bagaimana perilaku anak dalam kehidupan sehari-hari. Setiap anak ingin memiliki perilaku yang baik dan menyenangkan, hal ini disebabkan karena anak sebagai makhluk hidup ingin diterima oleh lingkungan sekitarnya. Lingkungan akan sangat menentukan perilaku anak sehari-hari. Apabila anak hidup di lingkungan yang baik maka perilakunya kemungkinan baik, dan apabila anak hidup di lingkungan yang buruk, maka perilaku burukpun akan mempengaruhinya, karena pada dasarnya anak akan mencontoh dari setiap perilaku yang dilihatnya.
Watson berpendapat bahwa perilaku adalah merupakan tanggapan atau balasan tentang rangsangan karena rangsangan dapat mempengaruhi perilaku, jadi setiap perilaku ditentukan atau diatur oleh rangsangan.[5] Perilaku baik dan tidak baik yang muncul pada manusia ditentukan oleh rangsangan yang diterima.
Menurut Skinner dalam teori operan conditioning mengemukakan perilaku adalah keteraturan (behavior is lawful).[6] Skinner beranggapan bahwa manusia mampu melakukan tindakan-tindakan atas inisiatif sendiri dalam lingkungannya, bukan sebagai objek dan relatif pasif. Namun demikian, hal ini lingkungan mempunyai posisi yang lebih kuat, karena lingkungan menyediakan penguatan atau pengukuhan (reinforcement).
Martin dan Pear berpendapat “behavior is anything that a person says or does”.[7] Bahwa perilaku adalah apapun yang dikatakan atau dilakukan oleh seseorang. Dengan kata lain perilaku akan terjadi apabila ada sesuatu yang diperlukan untuk menimbulkan reaksi atau disebut rangsangan. Rangsangan tertentu akan menghasilkan reaksi atau perilaku tertentu.
Menurut J.B. Watson perilaku adalah merupakan tanggapan atau balasan (respon) tentang rangsangan (stimulus) karena rangsangan dapat mempengaruhi perilaku ditentukan atau diatur oleh rangsangan.[8]
Berdasarkan pengertian perilaku yang telah diuraikan di atas dapat disimpulkan bahwa perilaku merupakan reaksi individu terhadap lingkungannya. Reaksi atau perilaku itu terjadi karena ada rangsangan, dan rangsangan tersebut akan menghasilkan reaksi atau perilaku tertentu.
Sedangkan moral berasal dari kata latin “mos” (moris) yang berarti adat, kebiasaan atau peraturan-peraturan/nilai-nilai atau tata cara kehidupan.[9] Pengertian ini dapat didefinisikan bahwa moral merupakan suatu adat kebiasaan, atau kaidah peraturan.
Yakub menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan moral ialah sesuai dengan ide-ide yang umum diterima tentang tindakan manusia mana yang baik dan wajar. Jadi sesuai dengan ukuran tindakan-tindakan yang oleh umum diterima, yang meliputi kesatuan sosial atau lingkungan tertentu.[10]
Berdasarkan pernyataan tersebut dapat didefinisikan bahwa moral adalah perbuatan baik yang dilakukan dalam suatu masyarakat tertentu. Dalam moral diatur segala perbuatan yang tidak baik dan perlu dihindari. Moral merupakan kendali untuk membedakan antara perbuatan baik dan salah, juga merupakan kendali dalam bertingkah laku.
Menurut Gunarsa perkembangan moral seseorang bersangkut paut dengan bertambahnya kemampuan menyesuaikan diri terhadap aturan-aturan atau kaidah-kaidah yang ada dalam lingkungan hidupnya atau yang ada dalam masyarakat.[11] Pengertian ini dapat diartikan bahwa seseorang dikatakan telah mengembangkan aspek moral apabila orang tersebut telah menginternalisasikan atau telah mempelajari kaidah-kaidah atau aturan-aturan kehidupan di dalam masyarakat dan menjadi sebuah kebiasaan.
Sehubungan dengan pengertian moral di atas maka, Nasution mengemukakan moral sebagai seperangkat nilai-nilai, standar atau perinsip yang diterima baik dalam konteks kultural tertentu.[12] Pengertian tersebut menekankan bahwa moral terdiri dari nilai-nilai atau prinsip-prinsip yang disepakati oleh suatu masyarakat yang tinggal di wilayah tertentu. Dengan demikian nilai-nilai atau prinsip-prinsip yang ada di suatu masyarakat yang tinggal di wilayah tertentu merupakan standar nilai yang harus dipatuhi. Jika seseorang melanggar nilai-nilai baik yang berlaku di masyarakat maka perbuatan orang tersebut dinyatakan tidak bermoral. Sedangkan menurut Ratna Megawangi, moral adalah pengetahuan seseorang terhadap hal baik dan buruk.[13]
Pengertian moral menurut Walker & Pitts yang dikutip dalam Santrock dikatakan bahwa:
Moral development involves age related thoughts, feelings, and behaviors regarding rules, principles, and value that guide what people should do. Moral development has an interpersonal dimensions (a person’s basic values and sense of self) and an interpersonal dimension (a focus on what people should do in their interactions with other people).[14]
Pernyataan ini dapat diartikan bahwa perkembangan moral melibatkan pemikiran yang terkait dengan usia, perasaan, dan perilaku menurut peraturan, prinsip dan nilai yang menuntun apa yang seharusnya orang lakukan. Perkembangan moral mempunyai dimensi interpersonal tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh seseorang dalam berinteraksi dengan orang lain. Moral juga adalah hal yang mendorong manusia untuk melakukan tindakan yang baik secara kewajiban atau norma. Moral juga dapat diartikan sebagai sarana untuk mengukur benar tidaknya atau baik tidaknya tindakan manusia.
Manusia selalu berinteraksi dengan lingkungannya, baik di keluarga, sekolah, maupun di masyarakat. Setiap lingkungan dimana manusia berinteraksi di dalamnya terdapat nilai-nilai moral. Eyre menyatakan sebagai standar-standar perbuatan dan sikap yang menentukan siapa kita, bagaimana kita hidup, dan bagaimana kita memperlakukan orang lain.[15] Berdasarkan hal ini maka dapat dikemukakan bahwa nilai-nilai moral adalah seperangkat standar perbuatan dan sikap seseorang ketika berinteraksi di dalam kehidupannya baik dengan dirinya maupun orang lain.
Perilaku moral pada anak tidak stabil, cenderung berubah sesuai dengan bertambah luas ruang lingkup sosial anak. Luasnya lingkungan pergaulan membuat anak belajar memahami akan sebuah makna dan aturan dalam suatu keadaaan. Melalui nilai-nilai moral dalam kehidupan sehari-hari akan membawa dampak perilaku positif bagi kehidupan anak-anak di lingkungan tempat tinggalnya. Anak akan memahami tentang nilai moral berdasarkan pengamatan dan perhatiannya yang dilihat dari orang orang dewasa sekitarnya. Berdasarkan pemaparan di atas maka dapat disimpulkan bahwa perilaku moral adalah reaksi individu dalam kehidupan sehari-hari yang berkembang berdasarkan lingkungannya. Melalui nilai-nilai moral dalam kehidupan sehari-hari akan membawa dampak yang positif terhadap sikap anak di lingkungan tempat tinggalnya.
Morality is a system of beliefs, values and underlying judgement about the rightness of acts. One function is to enure that individuals will act to keep their obligation to others in the society and behave in ways that do not interfere with the right and interest of others.[16]
Pengertian dari moral di atas dapat diartikan bahwa moral merupakan suatu sistem kepercayaan, nilai-nilai dan penilaian yang mendasari tentang kebenaran tindakan. Satu fungsi adalah untuk memastikan bahwa individu akan bertindak untuk menjaga kewajiban mereka kepada orang lain dalam masyarakat dan berperilaku dengan cara yang tidak menganggu hak dan kepentingan orang lain.
Sedangkan menurut William Damon, “Morality is a fundamental, natural, and important part of children’s lives from the time of their first relationships.” [17]
Berdasarkan beberapa pengertian dari para tokoh di atas, peneliti menyimpulkan bahwa perilaku moral adalah bentuk tanggapan yang tercermin dalam tindakan dan didasari oleh kemampuan dasar pada bagian awal kehidupan yang mana meliputi sistem kepercayaan, penghargaan, dan ketetapan serta prosesnya terjadi di alam bawah sadar yang tercermin dalam tindakan yang benar dan yang salah serta sesuai dengan ide-ide umum diterima tentang tindakan manusia yang dinilai baik dan wajar.


b.  Tahap-Tahap Perkembangan Moral
Dalam perkembangan moral terdapat beberapa tahapan-tahapan yang akan dilalui oleh anak dalam mencapai kematangan moral selama masa kehidupannya. Menurut Piaget, tahap perkembangan moral terjadi dalam dua tahapan, yaitu tahapan tahapan realisme moral dan nilai-nilai moral otonomi.[18] Pengertian ini dapat didefinisikan bahwa dalam tahapan realisme moral perilaku anak dilakukan karena pembatasan oleh orang dewasa sedangkan tahapan nilai-nilai moral otonomi perilaku anak didasari pada kerjasama atau hubungan timbal balik dimana anak berada.
a)    Tahap Realisasi Moral
Nilai-nilai moral dilakukan oleh anak akibat adanya pembatasan-pembatasan yang dilakukan oleh orang dewasa. Pada tahap ini perilaku anak ditentukan oleh orang dewasa. Pada tahap ini perilaku anak ditentukan oleh: 1)ketaatan otomatis terhadap aturan tanpa paksaan, penilaian, dan pemahaman; 2)anak mengikuti begitu saja apa yang diinginkan dan diharapkan oleh orang dewasa, mereka mengabaikan tujuan atas tindakannya. Contohnya di sekolah ditetapkan peraturan untuk menggunakan seragam sekolah, ketika anak menggunakan pakaian biasa ke sekolah maka dianggap sebagai sebuah pelanggaran. Anak yang melanggar akan terkena sangsi atas perbuatan yang dilakukannya. Anak melihat contoh suatu tindakan yang dianggap salah karena mengakibatkan ia dihukum.
b)    Tahap Nilai-Nilai Moral Otonomi
Nilai-nilai moral oleh adanya kerjasama atau hubungan timbal balik dengan lingkungan dimana anak berada. Pada tahap ini perillaku anak ditentukan oleh: 1)anak menilai perilaku atas tujuan yang mendasarinya; 2)dimulai pada usia 7-12 tahun; 3)konsep anak tentang keadilan mulai berubah yang dilihat dan ditiru oleh orang dewasa; 4)muncul situasi baru dimana-mana, berbohong dibenarkan untuk situasi tertentu yang dipelajari oleh orang dewasa. Contoh anak berjalan menunduk di depan orang yang lebih tua perilaku yang mendasarinya adalah agar ia terlihat sopan.
Sedangkan menurut Kohlberg ada enam tahap perkembangan moral yang dilalui seseorang anak untuk dapat sampai ke tingkat dewasa. Keenam tahap tersebut masing-masing berada pada tiga level, dimana tahap pertama dan kedua berada pada level pre-conventional, tahap tiga dan empat berada pada level conventional, autonomous atau principled level.[19]  Dalam perkembangan moral menurut Kohlberg ini setiap anak akan berkembang secara berurutan dari satu tahap ke tahap menuju tahap berikutnya, tidak langsung berada pada tahap ke empat tanpa melewati tahap berikutnya. Dalam mengerjakan nilai-nilai moral kepada anak didik menurut Kohlberg tidak dapat diajarkan hanya melalui bujukan atau kata-kata saja akan tetapi harus ditunjukkan dengan modelling atau contoh, bahwa pertimbangan kepada orang lain atau memahami keadaan orang lain adalah menyenangkan dan cara yang harmonis untuk hidup.
Tahapan-tahapan dalam perkembangan moral menurut Kohlberg sebagai berikut:
1)    Tingkatan Pra Konvensional
Pada level ini anak-anak memberikan respons terhadap aturan-aturan kebiasaan, baik dan buruk, benar dan salah, tetapi interprestasi ini diterjemahkan menurut pemikiran anak itu sendiri atau konsekuensi kesenangan dan ketidaksenangan terhadap adanya tindakan tertentu (hukuman, reward, ganjaran kebaikan) atau dalam batas kekuasaan fisik dari orang-orang yang menetapkan aturan atau label tersebut. Dalam tingkatan prakonvensional terdapat dua tingkatan sebagai berikut:
Tahap 1: Orientasi pada hukuman dan kepatuhan
Pada tahap ini biasanya perilaku baik yang muncul pada anak-anak akan tumbuh sebagai suatu kesadaran atau kebaikan tersebut, akan tetapi hal itu muncul karena adanya konsekuensi tertentu bilamana anak melakukan atau tidak melakukan sesuatu tersebut. Keputusan untuk melakukan sesuatu tersebut adalah merupakan upaya untuk menghindari hukuman dan kepatuhan terhadap kekuasaan, bukan bentuk moral dari rasa hormat pada nilai-nilai kebaikantersebut.

Tahap 2: Orientasi Instrumental
Pada tahap ini pandangan terhadap perbuatan yang benar adalah perbuatan yang secara instrumental memuaskan kebutuhan dirinya dan kadang-kadang kebutuhan orang lain. Suatu tindakan yang tidak ada kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan seseorang dapat pula dianggap sebagai tindakan yang baik sepanjang tindakan tersebut tidak menimbulkan kerugian.
2)    Tingkatan konvensional
Pada level ini telah tumbuh kesadaran dan penghargaan terhadap individu lain, keluarga, atau Negara dan hal-hal itu dianggap memiliki nilai bagi dirinya. Tahapan ini lebih memberikan penekanan terhadap usaha aktif untuk mengidentifikasi diri dengan pribadi-pribadi atau kelompok-kelompok yang ada di sekitarnya. Tingkat konvensional ini mencakup dua tahap yang melanjutkan pada tahap sebelumnya yaitu:
Tahap3: Orientasi anak yang manis
Pada tahap ini perilaku yang baik diartikan sebagai perilaku yang menyenangkan atau dapat membantu orang lain dan yang dapat disetujui oleh mereka. Oleh karena itu dalam tahap ini seseorang akan berusaha mempertahankan perilaku yang baik, bila orang lain atau lingkungan sekitarnya mengatakan bahwa tindakan yang dilakukan tersebut merupakan perilaku yang baik.
Tahap 4: Orientasi pada hukum dan aturan
Pada tahapan ini tindakan seseorang lebih banya berorientasi pada otoritas, aturan-aturan yang pasti dan pemeliharaan. Dalam tahap ke empat ini orientasi anak akan berubah mengarah kepada otoritas, pemeliharaan tata aturan sosial.
3)    Tingkatan pasca konvensional
Pada tahap ini sudah ada usaha konkrit dalam diri seorang anak untuk menentukan nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral yang dianggap memiliki validitas yang diwujudkan tanpa harus mengaitkannya dengan otoritas kelompok atau pribadi-pribadi yang mendukung prinsip-prinsip tersebut, sekaligus terlepas dari identifikasi seseorang terhadap kelompok. Pada tingkat ini terdapat dua tahapan yakni:
Tahap 5: Kontrak sosial, orientasi legalistik
Dalam tahap ini perbuatan benar didefinisikan sebagai kebenaran individual secara umum dalam ukuran-ukuran yang standar yang telah diuji secara kritis dan disepakati oleh masyarakat.
Tahap 6: Orientasi prinsip-prinsip etik universal
Pada tahap ini, apa yang secara moral dipandang benar tidak harus dibatasi oleh hukum-hukum dan aturan-aturan sosial, akan tetapi dibatas oleh kata hati dan kesadaran akan prinsip-prinsip etik. Prinsip-prinsip tersebut merupakan prinsip universal mengenai keadilan, timbal balik dan persamaan hak asasi manusia serta rasa hormat terhadap martabat individual manusia.
Berdasarkan tahapan perkembangan moral yang dikemukakan oleh tokoh Piaget dan Kohlberg, mereka berpendapat bahwa sebelum seseorang dapat mencapai tahap perkembangan moral yang paling tinggi maka ia harus melewati dulu tahapan-tahapan sebelumnya. Misalkan seorang anak tidak mungkin mencapai tahap ketiga sebelum melalui tahap pertama dan kedua.

c.  Dimensi Moral
Moral pada anak memiliki beberapa dimensi. Para ahli psikologi mengemukakan pendapatnya mengenai dimensi moral. Dimensions of morality include moral knowledge and the moral felling in addition to moral conduct.[20]Pendapat ini dapat diartikan bahwa tiga dimensi dalam perkembangan moral yakni pengetahuan moral, perasaan moral, dan perilaku bermoral. Pengetahuan moral berkaitan dengan pengetahuan benar dan salah yang akan memadu persaan moral. Perasaan moral adalah dimensi dari proses merasa bersalah jika melakukan hal-hal yang salah. Perpaduan antara pengetahuan moral dan perasaan moral akan menyebabkan seseorang melakukan perilku yang bermoral.
Berkaitan dengan pendapat di atas maka menurut Santrock untuk mempelajari aturan-aturan di dalam perkembangan moral yaitu:
(a)Bagaimana anak berpikir/bernalar tentang aturan-aturan yang dikemukakan oleh Piaget (b)Bagaimana sesungguhnya anak berprilaku dalam keadaan moral yang dipengaruhi oleh teori belajar sosial Bandura (c) Perasaan moral yakni bagaimana anak merasakan hal-hal moral yang dikemukakan oleh teori psikoanalistis Sigmund Freud.[21]

Teori ini dapat diartikan bahwa bagaiman anak berpikir atau bernalar tentang aturan berkaitan dengan pengetahuan anak tentang sebuah aturan moral tentang baik atau benar, sedangkan perilaku atau tindakan adalah bagaimana anak mengambil keputusan untuk bertindak sesuai dengan aturan yang berlaku, berdasarkan pengetahuan yang ia miliki tentang sebuah aturan, dan perasaan moral adalah bagaimana anak dapat merasakan apabila ia melakukan hal yang benar dan salah, juga anak dapat memahami dari sudut pandang orang lain, jika ia melanggar aturan moral.
Berdasarkan penemuan Piaget terhadap perkembangan moral anak dapat dipahami bahwa perkembangan moral anak usia dini 5-6 tahun berada dalam tahap pertama yakni heterenomous atau tahap realisme moral.[22] Dimana seorang anak akan cenderung menerima apa saja aturan yang diberikan oleh orang yang berkompeten dalam apa saja aturan yang diberikan oleh orang yang berkompeten dalam hal itu. Hal ini berarti sesungguhnya anak pada usia dini ini juga merasakan kesetujuan dan ketidak setujuan terhadap suatu aturan yang diterapkan pada dirinya, namun reaksi ini tidak terlihat secara jelas dalam perilaku mereka sebagaimana terjadi pada anak yang usianya di atas anak usia 5-6 tahun.
Menurut Bandura sebagai salah satu tokoh belajar sosial mengatakan bahwa manusia belajar jauh lebih cepat hanya dengan mengamati tingkah laku orang lain.[23] Dalam proses pembelajaran melalui pengamatan terbagi menjadi empat bahasan yakni : proses, perhatian, proses retensi (ingatan), proses reproduksi motorik, dan proses penguatan atau motivasi. Proses perhatian adalah proses mengimitasi sebuah model manusia yang dengan memberikan perhatian yang cukup kepada model tersebut. Proses retensi (ingatan) adalah proses mengingat dari apa yang telah diperhatikan dalam bentuk simbolik. Proses reproduksi motorik, adalah proses untuk memproduksi tingkah laku secara akurat, maka harus memiliki kemampuan motorik yang dibutuhkan. Proses penguatan atau motivasi, adalah seseorang akan melakukan peniruan jika ia termotivasi untuk meniru perilaku tersebut.
Pendapat Bandura menunjukkan bahwa perkembangan nilai-nilai moral pada anak, didasarkan proses peniruan anak terhadap tingkah laku yang baik yang dicontohkan oleh orang yang ada di sekitarnya. Percontohan dan pembiasaan adalah dua hal yang paling penting dalam pengembangan anak usia dini. Percontohan dalam bentuk model bisa dilakukan langsung yakni dalam sosok seoarang guru dan orang tua atau model pengganti seperti gambar, gambar visual dalam bentuk film atau buku-buku cerita. Peraturan-peraturan yang disampaikan dengan percontohan dapat dijadikan model dalam mengembangkan moral pada anak.
Pembelajaran dengan model dapat mengembangkan moral pada anak sebab anak merupakan mesin foto tercanggih yang pernah diciptakan. Di sisi lain anak-anak dengan kemampuan kognitifnya yang masih berkembang sulit memahami suatu perbuatan tanpa melihat bagaimana cara melaksanakannya. Dengan mencontoh dapat menjembatani kemampuan kognitif anak dan kegemarannya meniru sesuatu yang baru.
Menurut Freud pada teori psikonalisa mengenai perkembangan moral membagi struktur kepribadian manusia menjadi tiga yakni: id, ego dan super ego.[24] Super ego merupakan struktur kepribadian yang terdiri atas aspe sosial yang berisikan system nilai dan moral, yang benar-benar memperhitungkan benar dan salah. Menurut Freud super ego pada anak berkembang ketika anak mengatasi konflik Oedipus dan mengidentifikasi dengan orang tua yang berjenis kelamin sama pada tahun-tahun awal masa kanak-kanak.[25] Alasan mengapa anak mengatasi konflik. Oedipus ialah kekhawatiran anak akan kehilangan kasih sayang orang tua dan ketakutan akan dihukum karena ketakutan akan dihukum karena keinginan seksual mereka terhadap orang tua yang berbeda jenis kelamin. Untuk menghindari kecemasan, hukuman, dan mempertahankan kasih sayang maka anak membentuk superego dengan mengidentifikasi diri dengan orang tua yang sama jenis kelaminnya, anak menginternalisasiakn standar-standar benar dan salah orang tua yang mencerminkan larangan masyarakat.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas maka ketiga dimensi dalam perkembangan moral yakni pengetahuan moral, perasaan moral, dan perilaku atau tindakan moral pada anak tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya, ketiga aspek ini harus terinternalisasi dalam diri anak. Dengan demikian proses internalisasi seorang anak dapat diperoleh melalui pengamatan anak, baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja akan contoh-contoh perilaku yang ada di sekitar lingkungannya.

d.    Karakteristik Perkembangan Moral Anak Usia 5-6 tahun
Usia 5-6 tahun dapat digolongkan ke dalam usia prasekolah. Hal ini ditegaskan oleh Gustian, bahwa anak usia prasekolah atau yang dikenal masa kanak-kanak (early childhood) berada pada rentang usia 3-6 tahun.[26] Disebut usia prasekolah karena anak mulai mempersiapkan diri memasuki dunia sekolah melalui kelompok bermain atau taman kanak-kanak. Melalui institusi dalam hal ini adalah lembaga sekolah, seorang anak dapat belajar bersama dengan teman sebaya dan mengenal lingkungan sekolahnya. Anak dapat mengembangkan bakat sesuai dengan minat yang dimilikinya.
Sehubungan dengan memahami moral, Berk mengungkapkan three facest of morality: Psicoanalistic Theories focus on emoticons, cognitive developmental theory on moral thought, and sosial learning theory, on moral behavior.[27] Pendapat ini dapat diartikan bahwa pada dasarnya moral dapat dibagi menjadi tiga bahasan teori yaitu teori psikoanalitik yang berfokus pada emosi, teori perkembangan kognitif (intelektual), sebagai pemahaman moral, dan teori belajar sosial (sosialisasi) sebagai tindakan moral. Berdasarkan pendapat tersebut maka karakteristik perkembangan moral untuk usia 5-6 tahun selain dapat dilihat dari teori perkembangan moral itu sendiri juga dapat dilihat dari teori perkembangan moral itu sendiri juga dapat dilihat dari teori perkembangan moral itu sendiri juga dapat dilihat dari teori perkembangan psikoanalisis, kognitif, dan sosial.
Perkembangan moral jika dikaitkan dengan teori perkembangan psikoanalisis menurut Freud, super ego (aspek sosiologis), super ego dianggap sebaga aspek moral daripada kepribadian.[28] Maksud dari pengertian di atas adalah bahwa super ego atau aspek sosiologis dari pada kepribadian yang berfungsi untuk menentukan apakah sesuatu itu dikatakan susila atau tidak susila, pantas atau tidak pantas, benar atau salah, dan dengan berpedoman pada ini seseorang dapat bertindak dalam cara yang sesuai dengan moral masyarakat.
Dalam diri manusia ada tiga sistem yang membentuk kepribadian manusia id, ego dan super ego.  Maka super ego lah yang merupakan bagian yang dapat mengendalikan manusia dari perbuatan yang baik untuk dilakukan atau perbuatan buruk yang harus ditinggalkan. Karena nilai-nilai kehidupan sebagai norma atau aturan dalam masyarakat menyangkut persoalan antara baik dan buruk, jadi berkaitan dengan nilai-nilai moral.
Berdasarkan pendapat di atas, menurut teori psikososial lain Erickson berpendapat bahwa pada usia 5-6 tahun anak berada pada tahap ketiga yakni fase inisiatif vs merasa bersalah.[29] Pada masa ini seseorang anak akan mengembangkan rasa inisiatif dengan cara menanamkan rasa tanggung jawab dalam diri anak.
Pada usia 5-6 tahun karakteristik psikososial anak dapat berkembang, diantaranya sebagai berikut: (1) perasaan humor berkembang lebih lanjut, (2) sudah dapat mempelajari mana yang benar dan salah, (3) sudah dapat menenangkan diri, (4) pada usia 6 tahun anak menjadi sangat assertif, sering berperilaku seperti atasan, mendominasi situasi, akan tetapi dapat menerima nasihat, (5)sering bertengkar tetapi cepat kembali baik, (6)anak sudah dapat menunjukkan sikap marah (7)sudah dapa membedakan mana yang benar dan mana yang salah, dan sudah dapat menerima peraturan dan disiplin.[30]
Berdasarkan karakteristik tersebut maka seorang anak pada perkembangan moral yang berkaitan dengan perkembangan kepribadian psikososial yakni anak sudah dapat membedakan mana perilaku yang baik untuk dilakukan dan mana perilaku yang tidak baik untuk dapat ditinggalkan, juga anak sudah dapat mengikuti peraturan dari sebuah permainan.
Perkembangan moral pada anak sejalan dengan perkembangan kognitifnya. Semakin meningkat daya kognitif anak maka akan semakin meningkat pula nilai-nilai moral anak. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan Piaget bahwa kesadaran moral seorang anak mengalami perkembangan dari satu tahap ke tahap yang lebih tinggi.[31] Maksudnya adalah cara berpikir anak mengenai masalah moral akan berubah sesuai dengan bertambahnya usia. Contohnya dalam peraturan sebuah permainan anak yang usianya 1 sampai 2 tahun belum mengenal peraturan, mereka bermain asal bermain tanpa mengikuti peraturan, sedangkan anak usia 2 sampai 6 tahun sudah mengenal peraturan dalam permainan, dengan menirukan anak-anak yang lebih besar bermain dalam permainan.
Senada dengan teori di atas menurut Yuliani Nurani Sujiono dalam perkembangan moral, anak dapat berkembang sesuai dengan perkembangan usia dan kognitif anak.
Adapun karakteristik perkembangan moral pada anak usia 5-6 tahun meliputi: (1)anak mampu meminta izin untuk memakai milik orang lain, (2) anak mulai mengerti akan hukuman terhadap dirinya, (3) mengenal sopan santun, seperti berterima kasih, mencium tangan, dll, (4)anak berbuat baik karena ingin mendapat pujian, (5) anak sudah dapat menyesuaikan diri dengan yang diinginkan kelompok sosialnya dan mana yang harus dijauhi, (6) anak mulai patuh terhadap tuntutan atau aturan dari orang tua dan lingkungan sosialnya.[32]
Pengertian di atas dapat diartikan bahwa pada usia 5-6 tahun perkembangan moral anak akan berkembang sesuai dengan perkembangan kognitifnya. Dimana anak akan memiliki moral yang lebih matang dibanding dengan usia di bawahnya. Sebagai contoh pada anak usia ini anak sudah mampu untuk meminta izin dalam menggunakan benda milik orang lain, juga anak sudah dapat menyesuaika diri dengan yang diinginkan kelompok sosialnya dan mana yang harus dijauhi, misal anak harus mengantri menunggu giliran ketika dalam sebuah permainan secara kelompok.
Adapun Djiwandono mengatakan bahwa anak usia 5-6 tahun mengekspresikan kesadaran tentang aturan, tapi tidak mengerti kebutuhan untuk mengikuti aturan.[33] Dapat dikatakan bahwa anak belum mengerti pentingnya mengikuti aturan yang berlaku, misalnya ketika sedang bermain anak mau bekerja sama membangun sebuah bentuk dari balok ketika diminta oleh guru di sekolah. Akan tetapi anak belum mengerti mengapa mereka melakukan kerja sama padahal mereka sanggup melakukannya sendiri.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat dideskripsikan bahwa karakteristik perkembangan nilai-nilai moral anak usia 5-6 tahun bahwa seorang anak sudah dapat membedakan perilaku yang harus dilakukan dan ditinggalkan, anak mulai dapat membedakan yang benar dan salah, sesuai atau tidaknya dengan aturan yang berlaku dalam masyarakat. Anak juga sudah dapat mengenal aturan dari sebuah permainan, anak sudah dapat menjalankan peraturan dan disiplin, sedangkan dari sisi kognitif anak mampu meminta izin untuk memakai milik rang lain, anak mulai mengerti akan hukuman terhadap dirinya, mengenal sopan santun, seperti berterima kasih, mencium tangan dan lain lain, anak berbuat baik karena ingin mendapat pujian, anak sudah dapat menyesuaikan diri dengan yang diinginkan kelompok sosialnya dan mana yang harus dijauhi, anak mulai patuh terhadap tuntunan atau aturan dari orang tua dan lingkungan sosialnya.
Pada usia 5-6 tahun dasar-dasar nilai-nilai moral terhadap kelompok sosial harus sudah terbentuk. Anak tidak lagi terus menerus diterangkan mengapa perbuatan yang dilakukan benar atau salah. Tetapi ditunjukkan bagaimana ia harus bertingkah laku dan bilamana hal ini tidak dilakukan maka anak akan terkena sangsi hukum. Pada usia 5-6 tahun anak harus sudah patuh terhadap tuntunan atau aturan orangtua dan lingkungan sosialnya. Ucapan orang lain seperti baik, tidak boleh nakal akan disosialisasikan anak dengan konsep benar dan salah.

e.  Pengembangan Perilaku Moral Anak Usia 5 – 6 tahun
Pengembangan perilaku moral pada anak usia 5-6 tahun merupakan usaha yang dilakukan oleh orang dewasa terhadap pembentukan moral pada anak. Proses pengembangan perilaku moral ini tidak dapat dilakukan secara cepat, akan tetapi membutuhkan proses yang panjang, karena pembentukan moral ini saling terkait antara pengaruh pendidikan dari dalam keluarga, sekolah dan lingkungan ,masyarakat. Pengembangan perilaku moral pada anak yang dapat dilakukan di sekolah adalah dengan melakukan pembiasaan dalam hal kegiatan-kegiatan positif juga dengan adanya contoh atau modelling yang dilakukan oleh guru.
Melalui strategi yang dilakukan dalam pengembangan nilai-nilai moral pada anak ini maka akan tercapai tujuan yang ingin dicapai yakni dapat mengembangkan nilai-nilai moral pada anak yang akan di internalisasikan dan dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-harinya.
1.    Strategi Latihan dan pembiasaan
Latihan dan pembiasaan merupakan strategi yang efektif untuk membentuk perilaku tertentu pada anak-anak, termasuk perilaku moral. Dengan latihan dan pembiasaan terbentuklah perilaku yang bersifat relatif menetap. Misalnya, jika anak dibiasakan untuk menghormati anak yang lebih tua atau orang dewasa lainnya, maka anak memiliki kebiasaan yang baik, yaitu selalu menghormati kakaknya atau orang tuanya. Anak dibiasakan untuk antri ketika cuci tangan, maka hal ini akan menjadi perilaku yang menetap dalam diri anak sebagai perilaku yang baik.
2.    Strategi Aktivitas Bermain
Bermain merupakan aktivitas yang dilakukan oleh setiap anak dapat digunakan dan dikelola untuk pengembangan perilaku moral pada anak. Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Piaget dalam aktifiats bermain kelereng menyimpulkan bahwa anak-anak berpikir dengan dua cara yang berbeda tentang nilai moral.[34] Pengertian ini dapat disimpulkan bahwa dalam aktifitas bermain tentang sebuah aturan pada mulanya anak bermain sendiri tanpa menggunakan mainan, setelah itu anak bermain menggunakan mainan namun dilakukan sendiri. Kemudian anak bermain bersama temannya bersama temannya namun belum mengikuti aturan-aturan yang berlaku. Selanjutnya anak bermain bersama dengan teman-temannya berdasarkan aturan yang berlaku. Sebagai contoh anak bermain membangun balok bersama teman, walaupun kegiatan bermain secara berkelompok namun anak tetap membuat bangunan sendiri, yang kemudian anak membangun bersama.
3.    Strategi Pembelajaran
Usaha pengembangan moral anak usia dini dapat dilakukan dengan strategi pembelajaran moral. Pembelajaran moral dalam konteks ini tidak semata-mata sebagai suatu situasi seperti yang terjadi dalam kelas-kelas belajar formal d sekolah, apalagi pembelajaran ini ditujukan pada anak-anak usia dini dengan ciri utamanya senang bermain. Dari segi tahapan perkembangan moral, strategi pembelajaran moral berbeda orientasinya antara tahapan yang satu dengan yang lainnya.
Pada anak usia 0-2tahun pembelajaran lebih banyak berorientasi pada latihan aktivitas motorik dan pemenuhan kebutuhan anak secara proposional. Pada anak usia antara 2-4 tahun pembelajaran moral lebih diarahkan pada pembentukkan rasa kemandirian anak dalam memasuki dan menghadapi lingkungan. Untuk anak usia 4-6 tahun strategi pembelajaran moral diarahkan pada pembentukkan insiatif anak untuk memecahkan masalah yang berhubungan dengan perilaku baik dan buruk.

f.     Perilaku Mandiri dan Sopan santun
Perilaku moral adalah perilaku moral adalah bentuk tanggapan yang tercermin dalam tindakan dan didasari oleh kemampuan dasar pada bagian awal kehidupan yang mana meliputi sistem kepercayaan, penghargaan, dan ketetapan serta prosesnya terjadi di alam bawah sadar yang tercermin dalam tindakan yang benar dan yang salah serta sesuai dengan ide-ide umum diterima tentang tindakan manusia yang dinilai baik dan wajar.
Anak dinilai baik dan tidaknya dapat dilihat dari bagaimana perilaku anak dalam kehidupan sehari-hari. Setiap anak ingin memiliki perilaku yang baik dan menyenangkan, hal ini disebabkan karena anak sebagai makhluk hidup ingin diterima oleh lingkungan sekitarnya. Lingkungan akan sangat menentukan perilaku anak sehari-hari. Apabila anak hidup di lingkungan yang baik maka perilakunya kemungkinan baik, dan apabila anak hidup di lingkungan yang buruk, maka perilaku burukpun akan mempengaruhinya, karena pada dasarnya anak akan mencontoh dari setiapperilaku yang dilihatnya.
Penelitian tindakan ini mengambil fokus pada perilaku moral mandiri dan sopan santun.
Sebagai generasi  penerus bangsa, setiap anak tentunya diharapkan memiliki pribadi yang unggul serta mampu memecahkan persoalan yang ada dalam kehidupannya, tetapi menjadi mandiri bukanlah suatu proses yang bisa diperoleh dengan tiba-tiba. Hal ini memerlukan proses panjang yang harus dimulai sejak usia dini. Dengan kata lain, kemandirian yang ditanamkan sejak usia dini akan sangat berdampak pada masa depan setiap individu terutama ketika mereka harus menghadapi dunia dan segala problematikanya.
Menghadapi problematika kehidupan dan segala tantangan dunia bukan merupakan hal yang mudah. Setiap individu harus mampu untuk menentukan pilihan atas kehidupannya.Kemandirian yang ditanamkan sejak dini akan membuat individu terbiasa dalam mengambil keputusan tanpa terpengaruh dari lingkungan luar dan menyadari apa yang terbaik bagi dirinya.
Dalam kehidupan sehari-hari kemandirian dapat dilihat ketika anak berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Anak mandiri pada dasarnya adalah anak yang mampu berpikir dan berbuat untuk dirinya sendiri; seorang anak yang mandiri biasanya aktif, kreatif, kompeten, tidak bergantung pada orang lain, dan tampak spontan.[35] Anak yang mandiri dapat dengan mudah beradapatasi pada lingkungan di sekitarnya. Anak yang mandiri tahu betul bagaimana harus bersikap ketika menghadapi sesuatu.
Kemandirian merupakan hal yang penting dalam perjalanan hidup seorang anak. Kemandirian dapat diartikan sebagai hasrat untuk mengerjakan segala sesuatu bagi diri sendiri.[36] Anak memliki keinginan untuk melakukan segala sesuatunya secara mandiri dalam rangka memenuhi kebutuhan dan mendapat kepuasan bagi dirinya sendiri. Anak senang mencoba hal yang baru dan mendapatkan pengalaman yang baru pula. Umumnya anak anak ingin mencoba untuk mandi sendiri ataupun melakukan hal lain yang berhubungan dengan kebutuhan dirinya.
Anak membutuhkan kebebasan untuk mencoba melakukan sesuatunya sendiri dalam upaya membangung kemandirian dirinya. Hal ini sejalan dengan pernyataan yang menyebutkan bahwa kemandirian berasal dari kata mandiri yang memiliki arti kebebasan melakukan kebutuhan diri sendiri.[37] Kebebasan yang diberikan kepada anak untuk melakukan suatu hal secara sendiri membantu anak untuk dapat melakukan dan  memenuhi kebutuhan diri sendiri.
Perilakumandiridimaknaisebagai perilaku yang tidak bergantung pada orang lain. Penanaman nilai ini bertujuan agar anak terbiasa untuk menentukan, melakukan, memenuhi kebutuhan sendiri tanpa bantuan atau dengan bantuan yang seperlunya. Kemandirian pada anak usia dini dapat mengembangkan rasa percaya diri yang dibutuhkan khususnya saat anak memasuki dunia sekolah, karena dengan rasa percaya yang tumbuh seiring kemandiriannya, seorang anak dapat lebih mudah terhindar dari kecemasan/ketakutan.[38]
Berdasarkan beberapa pengertian di atas kemandirian dapat diartikan sebagai hasrat untuk memiliki kebebasan mengerjakan segala sesuatunya secara sendiri tanpa bergantung pada orang lain dalam rangka memenuhi kebutuhan diri sendiri. Kemandirian pada anak ditandai dengan berkembangnya ketrampilan menolong diri sendri seperti keterampilan makan, mengenakan pakaian dan sebagainya. Selain itu kemandirian pada anak juga ditandai dengan adanya kemampuan untuk menentukan pilihan dan bertanggung jawab atas pilihan yang diambil, adanya rasa inisiatif, percaya diri, dan kemampuan uuntuk melakukan sesuatu sendiri tanpa bantuan orang lain.                      
Sedangkansopansantunsecara etimologis berasal dari dua buah kata, yaitu kata sopan dan santun. Keduanya telah bergabung menjadi sebuah kata majemuk. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, sopan pantun dapatdiartikansebagaiberikut:
Sopanadalahhormatdengan tak lazim(akan,kepada) tertib menurut adab yang baik. Atau bisa dikatakan sebagaicerminankognitif(pengetahuan).
Santunadalahhalusdan baik (budi bahasanya, tingkah lakunya); sopan, sabar; tenang.Atau bisa dikatakan cerminan psikomotorik (penerapan pengetahuan sopan kedalamsuatutindakan).
Jikadigabungkankeduakalimat tersebut, sopan santun adalah pengetahuan yang berkaitan dengan penghormatan melalui sikap, perbuatan atau tingkah laku, budi pekerti yang baik, sesuai dengan tata krama; peradaban; kesusilaan.[39]
Berdasarkan pengertian di atas perilaku mandiri dan sopan santun adalah dua perilaku moral yang sangat penting untuk diterapkan dan ditingkatkan sejak dini. Periode dini dalam perjalanan usia manusia merupakan periode penting bagi pembentukan otak, kepribadian, memori dan aspek perkembangan yang lain. Kegagalan pertumbuhan dan perkembangan pada masa ini dapat mengakibatkan kegagalan masa-masa sesudahnya.
     
2.  Hakikat Metode Bercerita
a.    Pengertian Metode Bercerita
Dalam kegiatan belajar mengajar keberhasilan seorang guru dalam menyampaikan pembelajaran dipengaruhi oleh metode yang digunakan karena kemampuan yang diharapkan dapat dimiliki anak akan ditentukan oleh kerelevensian penggunaan suatu metode yang sesuai dengan tujuan.
Metode adalah cara, yang dalam fungsinya merupakan alat untuk mencapai tujuan. Makin tepat metodenya, diharapkan makin efektif pula pencapaian tujuan tersebut.[40]
Metode bercerita merupakan salah satu metode yang banyak digunakan di Taman Kanak-kanak. Sebagai suatu metode, bercerita mengundang perhatian anak terhadap pendidik sesuai dengan tema pembelajaran. Sebelum dikenalnya bahasa tulis, menulis, pada zaman dahulu bercerita merupakan satu-satunya cara untuk berkomunikasi segala informasi yang terjadi pada saat itu.
Cerita adalah metode komunikasi bangsa Indonesia yang sudah berlaku dari generasi ke generasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Gordon dan Brown sebagaimana dikutip oleh Moeslichatoen, bercerita adalah cara untuk meneruskan warisan budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya.[41] Pendapat ini dapat diartikan bahwa cerita merupakan cara untuk melestarikan budaya secara turun menurun dari generasi sebelumnya ke generasi berikutnya.
Dengan bercerita penanaman nilai-nilai moral menjadi lebih menyenangkan. Membuat anak tanpa disadari sudah diberi nasehat atau dinasehati tanpa merasa dinasehati. Sejalan dengan pendapat Horatius bahwa hakekat cerita adalah dulce et utile yang berarti menyenangkan dan bermanfaat.[42] Selain menyenangkan, cerita mempunyai manfaat yang baik untuk mengembangkan berbagai potensi anak.
Menurut pendapat Jennings, “Storytelling is an art from which not only crosses the boundaries of time and culture, but has always been a vehicle for conveying knowledge, feelings, thought and ideas.[43] Pendapat ini dapat diartikan bahwa bercerita adalah suatu bentuk seni yang tidak hanya melintasi batas waktu dan budaya. Akan tetapi juga sebagai sarana untuk menyampaikan pengetahuan, perasaan, pikiran dan ide. Selain digunakan untuk menyalurkan budaya dari generasi ke generasi, cerita juga dapat dijadikan sebagai sarana untuk menyampaikan perasaan atau pikiran yang ada dalam diri seseorang.
Sedangkan Ellin Greene mengartikanbercerita sebagai suatu seni menciptakan kembali literatur, membawa kata-kata yang tercetak di dalam buku dan memberi mereka kehidupan.[44]
Cerita dianggap sebagai seni kuno yang bersandar kepada kekuatan kata-kata yang mempunyai target utama yaitu memberikan kesenangan pada anak-anak. Setiap kata yang diucapkan oleh pencerita akan membuat anak semakin tertarik dan penasaran terhadap cerita tersebut. Pada cerita anak, biasanya terjadi pengulangan kata. Kata-kata yang diulang tersebut bukan karena pencerita kehabisan kata-kata untuk bercerita, melainkan agar anak memahami setiap kata yang ada dalam cerita dan memperkaya kosa kata anak.
Anne Pellowski mengatakan bahwa storry telling adalah suatu seni dari pengisahan cerita dalam bentuk sajak dan atau prosa yang ditampilkan oleh satu orang kepada penonton secara langsung, pengisahan cerita dapat dilakukan dengan menyanyi atau cara biasa, dengan atau tanpa musik, menggunakan gambar, dan atau iringan lain yang telah dipelajari lebih dahulu dari perkataan lisan, tulisan, atau bersumber dari rekaman dan salah satu tujuannya adalah untuk hiburan.[45]
Sedangkan menurut Ruth Sawyer,bercerita adalah suatu seni dan kreativitas dimana pencerita bercerita untuk menyampaikan informasi secara tidak langsung kepada pendengarnya.[46]
Berdasarkan teori-teori di atas, maka dapat didefinisikan bahwa bercerita adalah sebagai sarana lisan dalam memberikan pengetahuan, dan pengenalan budaya. Selain itu, bercerita dapat disimpulkan sebagai suatu cara seni untuk menyampaikan pengetahuan, perasaan, pikiran dan ide-ide dengan mewariskan budaya ke generasi selanjutnya secara lisan. Selain itu, bercerita juga dapat digunakan sebagai sarana yang menyenangkan untuk menanamkan nilai-nilai moral pada anak karena melalui cerita anak tidak merasa sedang dinasehati atau digurui. Bercerita juga dapat digunakan oleh guru sebagai cara untuk mengetahui perasaan dan pikiran anak-anak. Guru meminta anak untuk bercerita di depan kelas tentang perasaan atau kegiatan sehari-hari anak tersebut, sehingga kegiatan bercerita ini dapat menambah kedekatan dan keakraban hubungan antara guru dan anak.
Dari pengertian di atas maka dapat dideskripsikan bahwa yang dimaksud dengan metode bercerita adalah suatu cara seni menyampaikan informasi secara tidak langsung kepada pendengarnya dengan cara menciptakan kembali literaturdari pengisahan cerita dalam bentuk sajak atau prosa yang ditampilkan oleh satu orang kepada penonton secara langsung, pengisahan cerita dapat dilakukan dengan menyanyi atau cara biasa, dengan atau tanpa musik, menggunakan gambar, dan atau iringan lain yang telah dipelajari lebih dahulu dari perkataan lisan, tulisan, atau bersumber dari rekaman dan salah satu tujuannya adalah untuk hiburan dan meneruskan warisan budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya.

b.    Manfaat Metode Bercerita
Bercerita dapat memberikan banyak hal kepada anak, cerita menawarkan kesempatan menginterprestasi dengan mengenali kehidupan di luar pengalaman langsung, dengan cerita anak-anak dikenalkan dengan berbagai cara, pola, dan pendekatan tingkah laku manusia. Beberapa manfaat bercerita dikemukakan oleh Asfandiar diantaranya :
1.    Komunikasi yang menarik.
2.    Cara belajar yang menyenangkan.
3.    Melatih anak-anak berasosiasi.
4.    Melatih kemampuan bahasa anak.
5.    Media komunikasi anak dengan dirinya ataupun dengan orang lain.
Komunikasi yang menarik sangat berpengaruh dalam pendidikan anak, pola pikir, pengalaman dan cara pandang anak sangat berbeda dengan orang dewasa. Cerita menjadi salah satu komunikasi yang menarik karena mengandung unsur imajinasi dan kreatifitas yang tinggi sesuai dengan sifat dan dunia anak yang selalu berekspresi. Bercerita menjadi salah satu cara belajar yang menyenangkan, cerita yang dikemas menyenangkan membuat anak bersemangat dan mudah dalam menerima pesan, terutama cerita yang menggunakan panca indera seperti mata, pendengaran, gerak sehingga hati ikut merasakan.
Bercerita jika dikaitkan dengan kemampuan membaca dini dapat melatih anak berasosiasi cerita yang disajikan dapat diserap melalui inderanya, apa yang dlihat, didengar dan diraba dapat terlihat langsung pengaruhnya. Selain cerita dapat melatih kemampuan bahasa anak mendengarkan cerita dapat mengajarkan anak berbicara dan menambah pembendaharaan kata yang merupakan langkah awal anak mampu membaca.
Menurut Gunarti ada beberapa manfaat dari kegiatan bercerita diantaranya: Mengembangkan kemampuan berbahasa seperti mendengarkan dan berbicara, mengembangkan kemampuan berfikir dengan diajak untuk memfokuskan perhatian dan berfantasi mengenai jalan cerita serta mengembangkan kemampuan berfikir secara simbolis, melatih daya ingat dan memori anak untuk menyimpan informasi melalui tuturan peristiwa yang disampaikan, mengembangkan potensi kreatif anak melalui keragaman ide cerita yang dituturkan.
Bercerita seperti yang diungkapkan di atas mempunyai manfaat yang beragam khususnya jika dikaitkan dengan membaca dini, seorang anak akan mudah memahami kata-kata atau simbol-simbol yang diberikan guru, karena melalui kegiatan bercerita daya ingat dan memori anak untuk menyimpan informasi dapat dikembangkan, selain itu kemampuan berfikir dapat dikembangkan dengan mengajak anak untuk memfokuskan perhatian dan berfantasi mengenai jalan cerita serta mengembangkan kemampuan berfikir.

c.    Teknik Penyajian Cerita
Untuk menyajikan cerita secara menarik, diperlukan beberapa persiapan, mulai dari penyiapan tempat, penyiapan alat peraga, hingga penyajian cerita. Penerapan teknik penyajian cerita dipengaruhi oleh kondisi pendengar dan kultur yang melingkupi cerita. Sesuatu yang direncanakan, kadang mengalami perubahan ketika proses penceritaan terjadi. Oleh sebab itu ada beberapa teknik yang harus diperhartikan ketika ingin menyajikan cerita, yaitu:
1.    Memilih dan Mempersiapkan Tempat
Aktivitas bercerita tidak harus dilakukan di dalam kelas. Kegiatan bercerita dapat dilakukan dimana pun asal memenuhi kriteria kebersihan, keamanan, dan kenyamanan. Jika jumlah anak sedikit, bercerita dapat dilakukan di berbagai tempat, seperti di teras, di kelas, di bawah pohon, di ruang tamu, dll. Pada prinsipnya, yang terpenting tempat tersebut dapat menampung semua anak, nyaman, teduh, bersih, dan aman.
Apabila jumlah anak relatif banyak sebaiknya dipilih tempat yang lebih luas. Ruang kelas merupakan tempat yang paling representatif (memenuhi persyaratan). Meskipun demikian, dalam acara tertentu, cerita dapat disajikan di halaman sekolah, di tanah lapang, atau di tempat-tempat rekreasi. Sedapat mungkin tempat-tempat yang dipilih dapat mendukung keberhasilan cerita. Tempat-tempat yang gayut dengan cerita akan semakin menguatkan memori jangka panjang anak. Hal ini terjadi karena anak memperoleh dua rangsang sekaligus, yakni rangsang auditif dan visual. Gayutan tempat, dalam hal ini berfungsi sebagai masukan visual.
2.    Bercerita dengan Alat Peraga
Cerita dapat dilakukan dengan berbagai alat bantu yang disebut sebagai bercerita dengan alat peraga. Alat peraga yang paling sederhana adalah buku, kemudian gambar, papan planel, boneka, dan film bisu. Semua alat peraga membutuhkan ketrampilan tersendiri yang memungkinkan penggunaan alat peraga itu berfungsi optimal.
a.    Bercerita dengan Alat Peraga Gambar
Bercerita dengan alat peraga buku dikategorikan sebagai reading aloud (membaca nyaring). Bercerita dengan media buku dipilih apabila guru memiliki keterbatasan pengalaman (guru belum berpengalaman bercerita), guru memiliki kekhawatiran kehilangan detil cerita, dan memiliki keterbatasan sarana bahasa, serta takut salah berbahasa.  Bercerita dengan alat peraga buku dimaksudkan sebagai arena latihan bagi guru
Membacakan cerita dalam buku memiliki beberapa kelebihan sekaligus kelemahan yang harus diatasi guru. Beberapa keuntungan dapat disebut disini. Pertama, membacakan cerita dalam buku merupakan demonstrasi terbaik bagaimana mencintai buku. Kedua, buku merupakan sumber ide terbaik. Ketiga, ketika menyimak tulisan anak memiliki kesempatan untuk memprediksi kata dari kelanjutan cerita. Keempat, gambar dalam buku membantu pemahaman anak. Kelima, keberadaan buku mendorong anak untuk belajar “membaca” sendiri begitu kegiatan bercerita selesai.
Di samping itu, membacakan cerita juga dapat menjadi ladang persemaian kesiapan membaca anak. Bahkan jika guru cukup kreatif, bercerita dengan buku dapat digunakan untuk memperkenalkan materi-materi akademis.
Selain memiliki kelebihan, bercerita dengan media buku pun memiliki kelemahan. Kegiatan ini dapat menjadi monoton dan membosankan karena guru lupa bahwa ia sedang berhadapan dengan pendengar. Pada pertengahan cerita, ada kemungkinan guru melupakan pendengarnya, dan dalam hal demikian, guru cenderung membaca untuk diri sendiri. Dapat juga terjadi bahwa guru membaca cerita dengan tempo terlalu cepat. Guru mungkin lupa bahwa buku mempunyai karakteristik keseksamaan (precise), ekonomis (economical), ketakterulangan (unrepetitive).
Bercerita dengan alat peraga buku memiliki pengaruh yang positif dalam memunculkan kemampuan keberaksaran (emergent literacy) anak dan mendorong tumbuhnya kesiapan baca (reading readiness) pada anak. Untuk itu, perlu dilakukan pemilihan buku-buku yang memilki keterbacaan (readibility) yang sesuai dengan tingkat penguasaan dan kemampuan anak.
Bercerita dengan alat peraga buku dapat dilakukan jika pendengar, dalam hal ini siswa, tidak terlalu banyak. Dengan demikian, semua siswa dapat melihat kepada gambar yang ada dalam buku. Karenanya, buku yang digunakan seyogyanya memiliki gambar yang relatif besar dan menarik dengan tulisan yang berukuran cukup besar. Jumlah kalimat diperkirakan sekitar dua hingga empat kalimat pendek setiap halaman. Kalimat umumnya diletakan pada bagian bawah gambar.
b.    Bercerita dengan Alat Peraga Buku
Alat peraga gambar yang dapat digunakan untuk menyampaikan dongeng kepada anak meliputi gambar berseri dalam bentuk kertas lepas dan buku, serta gambar di papan planel. Keduanya dapat diterapkan dengan memperhatikan jumlah anak, kebutuhan media, dan kesesuaian cerita. Media gambar dalam bentuk kertas lepas dan buku sesuai apabila jumlah anak tidak terlalu banyak. Sebaliknya gambar di papan planel dapat digunakan untuk jumlah yang lebih besar mengingat papan planel memiliki daya jangkau yang lebih luas daripada gambar lepas dan buku. Meskipun demikian, gambar lepas dan buku umumnya lebih menarik daripada gambar di papan planel yang dibuat guru, karena dicetak dalam tata gambar dan tata warna yang baik.
Bercerita dengan gambar lepas membutuhkan penguasaan cerita yang baik. Guru dituntut bukan saja hafal cerita tapi juga memiliki kemampuan mensinkronkan gambar dan cerita, serta ketrampilan mengkomunikasikan gambar kepada pendengar.
Sementara itu, bercerita dengan media gambar papan planel memilki beberapa kemudahan. Perhatian anak dan guru terfokus pada gambar. Hal itu memudahkan guru untuk mensinkronkan gambar dan cerita. Guru juga lebih leluasa memanfaatkan gambar untuk keperluan penunjukan objek-objek tertentu dalam gambar. Bagi anak, gambar papan planel yang besar memudahkan mereka melihat dan menginterpretasi serta memahami cerita yang dibawakan guru. Anak-anak juga memiliki kesempatan untuk memperhatikan gerakan tangan, mimik, dan gerak mulut guru ketika bercerita. Hal demikian membantu anak memahami makna dan maksud cerita.
Bercerita dengan media papan planel menuntut kualitas gambar yang bagus. Guru dapat saja membuat gambar sendiri, namun harus tetap memperhatikan paduan warna dan keserasian objek, serta kepaduan gambar dengan cerita. Selain itu, media ini memerlukan alat habis pakai yang relatif banyak seperti spidol, cat air, crayon, kertas karton, dan pewarna lain.
Bercerita dengan media gambar papan planel dapat membantu guru memperkenalkan kata-kata baru kepada anak, terutama kata benda (nomina) yang merujuk pada benda konkret seperti nama hewan, tumbuhan, benda-benda, serta kata kerja (verba) yang merujuk pada aktivitas fisik, seperti mencakar, memanjat, menyeret, dan juga ajektif yang merujuk pada perasaan seperti sedih, takut, dan marah. Gambar pada papan planel juga berfungsi untuk membantu menggiring imajinasi anak. Meskipun demikian, adakalanya, penggiringan imajinasi justru menghambat kebebasan imajinasi anak. Anak tidak dapat berimajinasi secara bebas seperti jika mereka menikmati cerita tanpa media gambar.
c.    Bercerita dengan Alat Peraga Boneka
Bercerita dengan memanfaatkan boneka sebagai alat peraga masih menjadi pilihan para guru hingga saat ini. Dalam berbagai lomba mendongeng, boneka menjadi alat peraga utama para peserta.Dengan bantuan panggung boneka yang dihiasi miniatur pemandangan, guru bercerita seperti layaknya panggung boneka pada serial Unyil di televisi. Boneka menjadi alat peraga yang dianggap mendekati naturalitas bercerita. Tokoh-tokoh yang diwujudkan melalui boneka berbicara dengan gerakan-gerakan yang mendukung cerita dan mudah diikuti anak. Melalui boneka, anak tahu tokoh mana yang sedang berbicara, apa isi pembicaraannya, dan bagaimana perilakunya. Boneka kadang menjadi sesuatu yang hidup dalam imajinasi anak.
Bercerita dengan boneka membutuhkan persiapan yang lebih matang, terutama persiapan memainkan boneka. Ketrampilan mengerak-gerakkan jari dengan lincah menjadi bagian penting dalam memainkan peran para tokoh. Ketrampilan memainkan boneka menjadi faktor penentu keberhasilan bercerita di samping ketrampilan berolah suara.
Ada beberapa jenis boneka yang dapat digunakan sebaga alat peraga bercerita, yakni boneka gagang, boneka gantung, boneka tangan dan boneka tempel. Setiap boneka memerlukan tumpuan ketrampilan tangan sendiri-sendiri.
Panggung boneka sendiri dapat dikategorikan ke dalam dua jenis, yakni panggung dua dimensi dan panggung boneka tiga dimensi. Panggung boneka dua dimensi dibuat untuk boneka tempel dan boneka gantung. Hiasan panggung dapat dibuat dari bahan alam yang dilekatkan, dan dapat pula dibuat gambar langsung pada panggung.
Boneka gagang (termasuk wayang) digerakkan dengan gagang, sebagaimana tampak pada gambar. Boneka tempel dapat digerakkan dari balik layar, maupun digerakkan dari bawah oleh pencerita dengan bantuan lidi dan tali.
Panggung tiga dimensi lebih cocok digunakan untuk boneka tangan atau boneka gantung. Panggung tiga dimensi meruang (membentuk ruangan) dapat dibuat dari kardus maupun kayu. Panggung ini dilengkapi dengan benda penghias seperti pohon tiruan, daun yang berfungsi sebagai semak atau hutan, rumah-rumahan, bukit-bukitan, dan jalan tiruan. Semua komponen panggung dapat dilihat dari arah kanan, kiri dan depan. Pada bagian belakang dapat dimanfaatkan untuk latar pemandangan seperti gambar gunung, rumah, atau gambar hutan. Panggung tiga dimensi dilengkapi dengan alas terbuka yang berfungsi sebagai tempat pengendali boneka. Tinggi alas dibuat sesuai kebutuhan, setidak-tidaknya setinggi orang duduk.
Jika fasilitas terbatas, guru dapat memanfaatkan meja yang dibalik (bagian atas berada di depan). Dapat juga memanfaatkan kardus besar yang diberi hiasan panggung secara sederhana. Walaupun sederhana, kehadiran panggung boneka tersebut tetep bernilai positif, yakni menghidupkan latar cerita.
d.    Bercerita dengan Media Gambar Gerak
Yang termasuk gambar hidup adalah film bisu atau film non audial. Gambar dalam film dibuat berurutan dalam satu jalinan cerita, sedangkan narasi dan dialog diisi oleh pencerita. Walaupun jarang, cerita jenis ini kadang digunakan oleh pendongeng untuk menghibur pendengar dalam jumlah banyak. Bercerita dengan media ini memerlukan ketrampilan bercerita yang tinggi dan prima. Di samping menghafal skenario cerita, pencerita juga harus memiliki berbagai karakter suara tokoh dan kemampuan bernarasi yang bak. Suara hasil aksi seperti memukul, menendang, dan meloncat juga sangat baik jika dikuasai pendongeng.
Bercerita dengan media gambar gerak, meskipun mungkin tidak akan dipraktikan guru, seyogyanya diketahui juga. Pengetahuan ini berguna jika sewaktu-waktu guru memperoleh kesempatan untuk bercerita dengan media ini.
Bercerita gaya teaterikal membutuhkan alat pelantang, musik pengiring yang berfungsi sebagai pengisi ilustrasi, dan tempat duduk. Gambar ditampilkan melalui alat penyorot yang dapat dilihat oleh banyak penikmatnya. Ruangan dibuat lebih gelap dari pada gambar sehingga semua perhatian dapat tertuju kepada gambar. Pencerita sendiri tidak tampil menonjol. Meskipun demikian, suaranya yang terbagi menjadi narasi, suara-suara tokoh, dan penegas adegan sangat menentukan kualitas cerita.
e.    Bercerita Tanpa Alat Peraga
Bercerita tanpa alat peraga disebut juga bercerita secara langsung. Teknik ini banyak diterapkan oleh guru-guru TK di sekolah. Bercerita tanpa alat peraga ini sangat mengandalkan kualitas suara, ekspresi, wajah, serta gerakan tangan dan tubuh. Pencerita dapat mengambil posisi duduk atau berdiri dalam suasana santai. Teknik ini tidak terikat tempat, waktu, dan orang yang hadir. Kapan, dimana, dan berapun jumlah pendengar dapat dilayani.
Meskipun lebih fleksibel, mendongeng dengan tanpa alat peraga membutuhkan ketrampilan dan memori yang tinggi. Tidak ada alat bantu apapun yang dapat membangkitkan daya ingat akan peristiwa, narasi dan dialog tokoh-tokohnya. Untuk mengatasi hal ini, pencerita mungkin memerlukan catatan kecil sebagai penolong kalau-kalau ada bagian yang terlupakan.
Di tangan penceria ulung, bercerita secara langsung menjadi sangat menarik. Suaranya yang lantang ekspresif, gerakan mata, mulut dan mimik yang pas dengan karakter dan peran tokoh, gerakan tubuh yang menarik perhatian, dan improvasi humor-humornya, memicu munculnya imajinasi penikmatnya secara pribadi. Dalam hal ini, pemahaman dan imajinasi menyatu dan tersimpan dalam ingatan jangka panjang secara lebih kuat. Tiap-tiap anak memiliki imajinasi sendiri yang dipengaruhi oleh latar belakang pengalaman dan kecenderungannya. Kesan pun mengendap lebih retensif.
Selain itu, pengunaan metode bercerita dengan teknik langsung ini dapat digunakan bersama-sama dengan metode bercakap-cakap. Guru, tanpa dibebani untuk memaksimalkan media dapat mendekati siswa, dapat bergerak kesana kemari, dan melakukan tanya jawab dengan anak dengan leluasa. Guru dengan lebih seksama dapat melihat reaksi anak dan mengevaluasi secara tentatif (bersifat sementara) tingkat ketertarikan dan pemahaman mereka terhadap cerita. Hal ini dimungkinkan, karena anak TK memiliki perilaku yang polos. Apabila bosan, mereka tidak akan menunjukan perilaku pura-pura menyimak. Dengan tanpa beban, anak-anak akan gaduh atau meninggalkan gurunya.
Bercerita tanpa alat peraga dapat dipilih jika guru memiliki cerita yang bersmber dari cerita turun temurun, cerita hasil kreasi sendiri, atau cerita yang sudah mengendap. Sebaiknya dihindari bercerita secara langsung apabila guru belum menguasai cerita dengan baik. Faktor lupa dan ketidaklancaran bertutur menjadi masalah yang sering dihadapi guru.
Menurut Wright teknik bercerita ini sebaiknya digunakan jika guru memiliki alasan sebagai berikut. Pertama, anak-anak merasakan sesuatu yang bersifat pribadi, yakni cerita dari guru, bukan dari buku. Sesuatu yang bersumber dari guru dapat diharapkan memiliki hubungan dengan kehidupan anak, karena guru hidup dalam lingkungan budaya yang relatf sama dengan anak. Cerita dari buku tidak demikian.
Kedua, cerita guru yang bersumber dari pengalaman sehari-hari memilki efek yang lebih kuat pada anak. Cerita sehari-hari lebih mudah dicerna karena anak tidak memerlukan proses inferensi yang rumit seperti jika mereka menyimak atau membaca buku yang berasal dari ide imajinatif semata-mata.
Ketiga, lebih mudah bagi anak untuk memahami cerita yang diceritakan secara langsung daripada memahami cerita yang disampaikan melalui buku. Cerita yang dilisankan memiliki karakteristik kebertuturan yang sama dengan karakteristik tuturan yang didengarkan anak sehari-hari. Cerita langsung mengandung pengulangan-pengulangan dan mungkin keseleo lidah seperti halnya tuturan yang mereka dengar sehari-hari. Hal itu sangat membantu pembentukan pengetahuan anak tentang dunia bahasa lisan dalam cerita langsung membantu anak mengidentifikasi bahasa dalam interaksi sosial yang alamiah.
Keempat, guru dapat melihat langsung reaksi anak dengan lebuh cepat. Karena guru lebih leluasa bergerak dan tidak dibebani media, maka guru memiliki cukup waktu dan perhatian untuk mencermati gerak-gerik dan respons anak. Jika dirasa ada kesulitan, guru dapat keluar sejenak dari cerita untuk bertanya jawab dengan anak.
Kelima, guru memiliki gerak tubuh yang luwes dalam berbicara, sehingga guru dapat menggunakan gerak tubuhnya untuk mendukung pemahaman anak tentang cerita. Gerak tubuh yang tepat menguatkan makna kata-kata.
Keenam, guru dapat menggunakan bahasa yang sama dengan anak, yakni kata-kata yang sama-sama dimengerti anak dan guru. Bahasa yang yang sama ini sangat membantu anak belajar memahami sesuatu yang tersirat di balik cerita. Bahasa yang sama membantu anak untuk membangun kesepahaman dengan guru. Common ground yang demikian membuat anak sedikit demi sedikitmembangunpengetahuannya.
f.     Mengekspresikan Karakter Tokoh
Cerita anak pada dasarnya adalah wacana persuasif. Dikatakan demikian, karena cerita anak mementingkan pendengar, guna mempengaruhi, meyakinkan, dan mendorong perilaku tertentu. Cerita anak mementingkan perubahan agar anak-anak sebagai penikmat dan pengalaman terkesan sehingga bereaksi karena berpengaruh cerita tersebut. Ciri persuasif inilah yang sering mengantarkan fabel sebagai teks yang didaktik, mendidik. Pada anak, persuasi itu berkaitan erat dengan perkembangan emosi mereka.
Dalam cerita anak, emosi anak dimainkan, diayunkan, guna mencapai efek didaktik. Emosi anak dalam hal ini diartikan sebagai perasaan, gerak hati, serta pengamatan mereka.
Karakter tokoh dapat diekspresikan dengan berbagai cara, antara lain melalui ekspresi visual (raut muka, mulut, mata, air muka, tangan) dan karakter ekspresi suara. Dari pengekspresian ini dapat diketahui ciri-ciri tokoh seperti sifat-sifat tokoh, perasaan, dan emosi tokoh. Ada dua karakter dasar tokoh, yakni karakter baik dan karakter buruk. Yang termasuk karakter baik adalah : penggembira, penolong, tulus hati, mengalah, solider, jujur, pemberani, cerdas, rendah hati, disiplin, sopan, dan rajin. Yang termasuk karakter buruk adalah pemarah, sombong, emosional, tidak sabar, bodoh, egois, pencuriga.
Tidak semua karakter sifat tokoh tersebut dapat diekspresikan melalui fitur muka. Meskipun demikian, guru dapat mengembangkan pengekspresikan karakter melalui tiga ekspresi dasar yang dapat dikembangkan lebih jauh. Pertama, ekspresi sedih. Ekspresi sedih ditunjukkan oleh raut muka yang menciut, alis menurun, mulut mendekat ke hidung, mata redup tidak bercahaya, suara rendah tanpa irama. Ekspresi ini dapat dikembangkan lebih jauh menjadi ekspresi menangis (dengan menambahkan fitur sedu), bimbang (dengan menambahkan fitur gerak mata dan alis yang berubah-ubah), takut dan khawatir (dengan menambahkan fitur gerak tangan dan mulut gemetar, roman muka menciut). Melalui pengalaman sehari-hari, guru dapat berlatih di depan kaca, bagaimana realisasi dari ekspresi tersebut. Tokoh ini kadang cenderung memperoleh simpati anak, walaupun sering bertentangan dengan apa yang mereka inginkan.
Kedua, ekspresi gembira ditunjukkan antara lain oleh suara agak meninggi berirama, penuh hentakan, wajah berseri dan mata bersinar, hidung sedikit mengembang, dan ujung mulut yang cenderung tertarik ke atas. Kegembiraan bagi tiap-tiap orang diekspresikan dengan cara yang berbeda. Meskipun demikian, pencerita perlu menampilkan ekspresi universal semacam itu.
Ketiga, ekspresi marah diwujudkan antara lain melalui suara yang keras, bernada tinggi, mengandung stakato. Penekanan dilakukan terhadap kata kunci. Raut muka orang marah ditandai dengan ketegangan pada alis dan penajaman pandangan mata, pengerasan mulut, dan gerakan hidung mengembang. Warna kulit muka menjadi merah. Ekspresi ini biasanya terjadi pada tokoh antagonis, yang diartikan sebagai tokoh yang bertentangan dengan amanat cerita.
g.    Menirukan Bunyi dan Karakter Suara
Yang dimaksud dengan bunyi dalam tulisan ini adalah bunyi esensial yang tidak memiliki makna secara linguistik. Bunyi binatang yang dikenal dengan onomotope, bunyi benda jatuh, bunyi ledakan, dan bunyi tabrakan dikategorikan sebagai “bunyi” dalam arti ini. Walaupun tidak memiliki makna linguistik, bunyi-bunyi itu memiliki arti penting dalam cerita. Bunyi-bunyi itu memberikan gambaran sebuah peristiwa, memberikan informasi tokoh fabel apa yang sedang berbicara, dan bagaimana tokoh memulai berbicara. Bunyi-bunyi itu harus dihadirkan dalam cerita. Kehadirannya membuat cerita semakin dramatis dan menarik.
Di samping menguasai berbagai suara binatang, guru juga perlu dapat menampilkan berbagai karakter suara. Karakter suara dalam arti ini tidak hanya mencakup fitur (ciri) identitas tokoh seperti usia, jenis kelamin, dan sifat, namun juga karakter suara untuk fungsi bahasa tertentu.
Untuk mengekspresikan suara, guru perlu mengenal ciri-ciri prosodi, yakni tekanan (kata dan kalimat), intonasi, juga pola, melodi, dan waktu.Melalui ciri-ciri ini guru dapat memberikan secara akurat fungsi linguistik apa yang sedang diperankan tokoh.
h.    Menghidupkan Suasana Cerita
Karena cerita umumnya dibawakan oleh pencerita tunggal, kesemarakan suasananya sangat ditentukan oleh kepiawaian si pencerita. Sebuah cerita, walaupun tidak didukung oleh pajanan riil, tetap akan menarik perhatian selama pencerita mampu menghidupkan suasana cerita.
Suasana cerita dalam pengertian ini diartikan sebagai keadaan yang menyertai proses terjadinya penceritaan oleh guru kepada siswa. Situasi riil yang berhasil diobservasi antara lain, gaduh, sunyi, antusias, dan penuh kegembiraan. Situasi ini sangat dipengaruhi oleh kemampuan dan minat bercerita guru.
Ada berbagai macam teknik untuk menghidupkan suasana cerita antara lain dengan (1)Mengoptimalkan dialog tokoh-tokoh cerita, (2)Mengoptimalkan klimaks cerita, (3)Membangkitkan humor di sela-sela cerita, (4)Melibatkan anak dalam cerita melalui pertanyaan dan teguran, (5)Melakukan improvisasi dan interpolasi atau penyisipan unsur-unsur lingual seperti kata-kata atau kalimat, (6)Memanfaatkan alat bantu yang tersedia secara optimal, (7)Berolah suara, mimik dan pantomimik sehingga membangkitkan minat dan semangat anak untuk terus menyimak. Teknik-teknik tersebut sangat penting untuk diketahui dan diterapkan guru. Kemampuan untuk memunculkan teknik tersebut menentukan kadar kemenarikan dan kebermaknaan cerita. Oleh karena itu, masalah tersebut dibicarakan dalam bab tersendiri.

i.      Memilih Diksi dan Struktur Kalimat
Kenyataan di lapangan yang teramati menunjukkan bahwa guru sering bercerita dengan bahasa orang dewasa. Artinya, kosakata yang digunakan sulit dicerna anak. Walaupun anak menggunakan teknik tebak makna, hal itu tidak menepis fakta bahwa anak mengalami kendala pemaknaan cerita.
Sebagai pencerita, guru seyogyanya dapat memilih dan mengubah diksi dan struktur cerita dengan cepat sesaat sebelum bercerita dan selama bercerita sesuai dengan usia dan prakiraan kemampuan bahasa anak-anak. Kemampuan memprediksi ini penting untuk menghasilkan sajian cerita yang memiliki kadar ketersimakan yang tinggi.
3. Hakikat Boneka Tangan
a. Pengertian Boneka Tangan
            Boneka merupakan media yang efektif yang dapat digunakan dalam pendidikan di taman kanak-kanak. Boneka juga merupakan media yang dapat digunakan untuk menunjukkan karakter-karakter yang digunakan ketika bercerita.
            Boneka adalah tiruan dari bentuk manusia bahkan sekarang termasuk tiruan dari bentuk binatang. Sedangkan boneka tangan merupakan salah satu dari jenis-jenis boneka yang digunakan dalam sandiwara boneka. Boneka tangan adalah boneka yang ukurannya lebih besar dari boneka jari dan dapat dimasukkan ke tangan. Disebut boneka tangan, karena boneka ini hanya terdiri dari kepala dan dua tangan saja, sedangkan bagian badan dan kakinya hanya merupakan baju yang akan menutup lengan orang yang memainkannya. Cara memainkannya adalah jari telunjuk untuk memainkan atau menggerakkan kepala, ibu jari, dan jari tangan untuk menggerakan tangan.
            Boneka termasuk media tiga dimensi atau model atau benda tiruan karena boneka dapat terbentuk macam binatang, seperti kucing, ayam, bebek, dan lain-lain serta boneka dengan karakter ayah, ibu, laki-laki dewasa, perempuan dewasa, anak laki-laki, anak perempuan, nenek, kakek, dan sebagainya. Model boneka adalah tiruan mengenai manusia dapat utuh, dapat pula hanya bagian-bagiannya saja.[47] Maksudnya adalah bisa berupa wujud manusia secara lengkap atau hanya bagian-bagiannya saja seperti boneka tangan yang hanya terdiri dari kepala dan dua tangannya saja.
            Berdasarkan teori-teori yang dikemukakan di atas maka dapat dideskripsikan bahwa boneka tangan adalah sebagai salah satu media atau alat bantu berupa tiruan dari bentuk manusia atau binatang, yang dapat digunakan sebagai media yang efektif dalam pembelajaran di taman kanak-kanak. Boneka tangan berupa media yang beberbentuk bagian-bagian tubuh yakni kepala dan dua tangan saja yang cara memainkannya adalah jari telunjuk untuk memainkan atau menggerakan kepala, ibu jari, dan jari tangan untuk menggerakkan tangan.

Metode sandiwara boneka merupakan salah satu bentuk metode bercerita yang menggunakan boneka sebagai media dalam pembelajaran. Moeslichatoen mengartikan metode sandiwara boneka merupakan salah satu metode bercerita dengan menggunakan media boneka. [48] Boneka yang digunakan dapat berupa jari, boneka tangan, panggung boneka ataupun wayang. Pemilihan boneka tergantung pada usia anak dan pengalaman anak serta harus menunjukkan perwatakan pemegang peran tertentu.
            Sandiwara boneka merupakan salah satu metode yang efektif dalam membantu anak usia muda dalam mempelajari bentuk-bentuk perilaku. Anak-anak sanga tertarik dengan boneka boneka, untuk itu dibuatlah boneka tangan yang semenarik mungkin untuk menarik minat anak di dalam kegiatan bercerita.
Berdasarkan beberapa pendapat yang dikemukakan oleh beberapa ahli di atas, maka metode bercerita boneka ini adalah salah satu metode bercerita tanpa alat peraga langsung. Artinya, suatu kegiatan bercerita yang dilakukan oleh tutor dengan menggunakan media boneka. Sandiwara boneka dilakukan dengan beberapa boneka yang menunjukkan karakter seseorang, atau hewan yang khusus.
            Sandiwara boneka digunakan sebagai metode pembelajaran yang sangat tepat terutama untuk kategori anak-anak karena di dalam sandiwara ini cerita yang disampaikan sangat membantu anak untuk pembentukkan sikap, kemampuan, berbahasa serta mengembangkan imajinasi anak.[49]
            Sandiwara boneka sebagai komponen dari strategi pembelajaran memliki beberapa tujuan, antara lain melatih daya tangkap, pikir dan konsentrasi, melatih membuta kesimpulan, membantu perkembangan intelengensi dan perkembangan fantasi anak, mengembangkan imajinasi anak, serta menciptakan suasana yang menyenangkan di kelas.[50]
            Ahli lain yang memaparkan tujuan sandiwara boneka diantaranya Bromley mengemukakan tujuan dari sandiwara boneka adalah “puppets provide shy children with vehicle for expressing themselves and release for all children to be crearive in their resposes and interpretations.[51]
            Berdasarkan uraian tersebut diambil kesimpulan bahwa tujuan umum penggunaan metode sandiwara boneka ini adalah untuk mengembangkan kemampuan dasar dan pembentukkan perilaku serta mengembangkan kemampuan berbahasa, kognitif, fisik, dan seni. Tujuan pembentukkan perilaku yaitu mengembangkan konsep diri positif, empati, pemahaman, dan penerapan norma. Sandiwara boneka ini dapat meningkatkan kepercayaan diri anak yang pemalu untuk mengekspresikan dirinya dan merangsang anak menjadi kreatif di dalam merespon dan menginterpretasikan karakter melalui boneka tangan.
            Sandiwara boneka sebagai komponen dari strategi pembelajaran memiliki beberapa tujuan, antara lain melatih daya, tangkap, daya pikir, konsentrasi, melatih membuat kesimpulan, membantu perkembangan intelegensi dan perkembangan fantasi anak.
            Dalam kompetensi bercerita dengan alat peraga, peneliti menganggap bahwa media bonekalah yang paling tepat untuk menjadi alat peraga dalam bercerita. Media boneka dapat merangsang warga belajar untuk menuangkan ide-ide cerita mereka sebagai tokoh dalam boneka tersebut.
Adapun penggunaan boneka tangan dalam metode penyampaian cerita merupakan suatu media, alat atau perantara yang secara fisik digunakan oleh guru untuk memudahkan dalam penyampaian cerita kepada siswa untuk mengembangkan ide, gagasan, dan imajinasi yang akan dituangkan dalam bentuk gambar ekspresi. Hal tersebut sesuai dengan yang dikemukakan oleh Santon S. Handjojo bahwa media adalah semua bentuk perantara yang dipakai oleh orang untuk menyebar ide, sehingga ide atau gagasan yang dikemukakan itu bisa sampai pada penerima.[52]
            Jadi selain dapat memupuk dan mengembangkan imajinasi bagi anak, cerita juga dapat memberikan kegembiraan, pengalaman, mengembangkan wawasan dan sebagainya.
Charles D. Gaitsell mengemukakan pendapatnya tentang manfaat boneka tangan, yaitu sebagai berikut: “puppetry can carry children in to language computatins, and history as they go about gathering information. Moreover puppetery is a enjoying popularity with language ats as will as visual art teacher.”[53] Boneka tangan bisa membawa anak-anak ke dalam pengembangan seni dan sejarah sebagaimana mereka keluarkan untuk mengumpulkan informasi. Terlebih lagi boneka tangan itu menyenangkan anak dengan seni dan visual nya guru.
            George W.Maxim mengatakan pendapatnya tentang boneka tangan adalah sebagai berikut:
            Pantomime, role playing, puppetery, and forms of dramatic play help children make sense out of their thought, ideas, moods, and feelings through dramatic activity, and truly creative teacher will provide many opportunities for them to young children love to experiment with new words, new ideas, and new ways of doing things as they enter the world of truckers, pilots, husekeppers.[54]
            Pantomim, bermain peran, boneka tangan dan bentuk permainan lainnya membantu anak memahami lingkungan mereka dan memungkinkan mereka untuk berkespresi sesuai dengan kesadaran atau pemahaman tersebut melalui gerakan tubuh dan bahasa. Anak-anak kecil itu mau dan ingin sekali  untuk mengekspresikan ide, pikiran, perasaan mereka, melalui aktivitas dramatik, dan guru yang benar-benar kreatif akan memberikan banyak kesempatan bagi mereka untuk melakukan. Anak-anak senang berkespremen dengan kata-kata baru, ide baru, cara baru untuk melakukan sesuatu ketika diam memasuki dunia seperti: supir truk, pillot, dokter, atau penjaga rumah. Penyampaian cerita dengan media boneka tanagan melalui gerak tubuh dan bahasa, dapat membantu anak mengekspresikan pikiran dan perasaan mereka ke dalam kegiatan mengambar. Dan anak pun senang berkeksperimen dengan kata-kata baru, ide-ide baru dan cara-cara baru untuk melakukan sesuatu dalam ekspresi.
Boneka adalah mainan berupa anak-anakan atau orang-orangan yang biasa dimainkan oleh anak kecil maupun orang dewasa. Nama lain boneka adalah puppets. Puppets diambil dari nama lain pupa. Nama puppets dikutip dari egyptian tombs (sejarah makam mesir kuno). Sedangkan menurut sumber Yunani, pada awal sekitar 300 sm orang yang memainkan boneka atau pupa disebut “puppetress”. Earl W. Linderman membagi jenis boneka menurut bahan dan cara penggunannya. Ia membagi jenis boneka menurut bahan dan cara penggunannya. Ia membagi dalam tiga kelompok besar yaitu:
(a)  Hand puppets adalah boneka tangan yang cara memainkannya menggunakan sarung tangan, terdiri dari “sock puppets”, cloth puppets (boneka handuk), puppets mach,bag puppets, and finger puppets. Stick puppets adalah boneka yang dimainkan dengan menggunakan tongkat. Indonesia mengenalnya dengan sebutan wayang c)hanging puppets adalah boneka yang cara memainkannyadengan digantung, sehingga penonton melihatnya seolah dapat erjalan atau bergerak.[55]
(b)  Bercerita atau mendongeng menggunakan boneka tangan
Bercerita bisa saja menggunakan alat peraga. Menurut Simanjuntak dalam Agus, boneka dapat digunakan sebagai alat peraga untuk membawakan cerita kepada anak-anak karena boneka merupakan alat peraga yang dekat dengan mereka.[56] Boneka menjadi sesuatu yang menarik perhatian anak. Hampir semua anak terutama anak perempuan menyukai boneka. Boneka dapat dijadikan media edukatif untuk kegiatan pembelajaran di kelas. Guru dapat menggunakan boneka tangan untuk metode bercerita di kelas.

            Di masa kanak-kanak imajinasi berkembang pesat. Boneka dapat mengantarkan anak-anak ke dalam imajinasi.[57] Pada saat boneka berbicara, anak menganggap bahwa suaa tersebut benar-benar berasal dari boneka. Hal ini dapat merangsang daya imajinasi anak usia 5-6 tahun yang sedang berkembang.
            Dalam metode bercerita, anak tidak hanya berfungsi sebagai penyimak atau pendengar saja, tetapi juga dapat terlibat di dalam cerita. Bahkan guru bisa memberi kesempatan anak untuk bercerita. Dengan demikian, ketrampilan sosial anak dapat meningkat pula. Namun itu, semua disesuaikan dengan situasi dan kondisi di dalam kelas.
            Ada berbagai macam jenis boneka tangan berdasarkan bahan pembuatannya. Hand puppets, which are made from solid, three dimensional materials, such as paper bags, and papier mache.[58]Boneka tangan dibuat dari bahan yang kuat berbentuk tiga dimensi, seperti kertas, kaos kaki, and papier mache.
            Boneka tangan sangat mudah dibuat. Dapat terbuat dari kertas yang sebelumnya telah digambar terlebih dahulu, atau menggunakan kain sebagai bahan lainnya.
            Boneka tangan memiliki bahan dasar pembuatannya. Simanjuntak mengungkapkan ada beberapa bahan pembuatan boneka tangan, yaitu (1)boneka dari kain, (2)boneka dari kertas/karton, (3)boneka dari berbagai bahan dasar.[59] Boneka tangan kain umumnya terbuat dari kain flanel dan kain perca. Biasanya, kain flanel untuk boneka tangan ukuran besar, sedangkan kain perca untuk boneka ukuran kecil. Bisa juga boneka tangan sederhana terbuat dari karton. Untuk bahan lainnya, guru atau pencerita dapat menggunakan bahan-bahan seperti kardus susu, botol air mineral, dan lain sebagainya yang memungkinkan untuk dijadikan boneka tangan.
            Bercerita disesuaikan dengan usia anak. Pemilihan bercerita dengan menggunakan boneka akan tergantung pada usia dan pengalaman anak.[60] Anak usia 5-6 tahun biasanya belum mampu untuk mendengarkan cerita yang berat. Cerita dengan isi yang  sederhana adalah pilihan yang tepat. Cerita sederhana tersebut dapat berkaitan dengan keseharian anak. Anak lebih menyukai suara yang berasal dari boneka dan melihat boneka tersebut ketimbang jalan ceritanya. Guru dapat melakukan improvisasi mengenai isi cerita. Bahkan guru dapat mengarang sendiri cerita yang dibawakan, yang sesuai dengan kondisi anak saat itu.
            Mendongeng atau bercerita dengan boneka sedikit berbeda dengan alat peraga lainnya. Mendongeng dengan alat peraga boneka memerlkukan sedikit ketrampilan karena tokoh yang akan dibawakan atau boneka yang dipegang harus sesuai dengan karakter dalam cerita.[61] Seseorang yang bercerita dengan menggunakan media boneka harus mahir menggunakan boneka dan penuh improvisasi, dan mengetahui jalan cerita secara penuh.
b. Teknik Bercerita menggunakan boneka tangan
Boneka tangan mengandalkan ketrampilan guru dalam menggerakan ibu jari dan telunjuk yang berfungsi sebagai  tulang tangan. Boneka tangan biasanya disesuaikan dengan ukuran tangan dan dapat digunakan tanpa alat bantu yang lain. Jika teknik yang dibawakan pencerita baik, maka anak akan tertarik pada cerita.
            Ada hal-hal yang perlu diperhatikan oleh pencerita saat bercerita menggunakan media boneka tangan. Menurut Priyono, teknik berceritanya adalah sebagai berikut: (1) Jarak boneka tangan harus agak jauh dari mulut, (2) kedua belah tangan harus lentur dalam memainkan boneka, (3) Bisa diiringi musik untuk menambah suasana, (4) Libatkan anak-anak dalam adegan cerita yang dibawakan, (5) Sesekali adakan dialog antara tokoh boneka dan pendengarnya atau penonton, (6) Suara karakter dari tokoh cerita dongeng harus pas sesuai peran, (7) Ajak anak bernyanyi bersama boneka guna memperoleh keterikatan dalam cerita dongeng, (8) seusai mendongeng jangan lupa ulas pesan yang terkandung dalam dongeng tersebut; boneka seolah-olah berbicara pada anak.[62] Guru dapat menggunakan berbagai macam teknik dalam menggunakan metode bercerita dalam kelas. Namun semua itu harus dissuaikan dengan kondisi tempat dan suasana yang ada dalam kelas.  Jika memungkinkan untuk diiringi musik, guru dapat menggunakan musik. Jika kondisi anak memungkinkan untuk anak diajak bernyanyi, guru dapat menyelipkan lagu ke dalam cerita dan meminta nak bernyanyi bersama.
            Dalam bercerita atau mendongeng menggunakan boneka tangan, anak dapat dlibatkan ke dalam inti cerita dengan cara menanyakan sesuatu hal yang berkaitan dengan isi cerita. Anak secara tidak sadar akan terangsang untuk berbicara. Disinilah dapat dilihat seberapa jauh anak ingin berbicara. Biasanya, mereka sangat tertarik pada boneka.
            Umumnya, tidak lebih dari lima boneka yang digunakan pada saat yang bersamaan saat bercerita. Tokoh boneka tangan yang digunakan oleh guru tidak perlu banyak. Guru dapat meminta beberapa anak untuk memainkan boneka agar anak semkain terlibat dalam cerita. Namun, guru tidak perlu menunjuk lebih dari lima anak dalam setiap cerita.
            Bercerita melibatkan emosi yang sesuai pada isi cerita. Ketika menuturkan kisah dan pesan moral, guru dan orang tua juga harus bisa menampilkan emosi yang tepat dan sesuai dengan sikap yang dituturkan itu.[63] Segala emosi dan sikap harus disesuaikan dengan cerita yang dibawakan guru. Hal ini agar anak bisa menjiwai cerita yang dibawa.
            Berdasarkan uraian di atas, dapat dsimpulkan bahwa ada berbagai macam teknik yang dapat guru lakukan dengan menggunakan metode bercerita di dalam kelas. Guru harus mmapu melihat tingkatan umur anak, anak berusia 5-6 tahun bebrbeda dengan anak usia 7-8 tahnu, teknik berceritanya pun bebrbeda. Untuk anak usia 5-6 ahun, salah satu alat peraga yang cocok adalah boneka tangan. Hal ini dikarenakan anak usia tersebut belum sepenuhnya mampu mengikuti alur cerita. Mereka lebih tertarik pada boneka dan suara yang dihasilkan boneka tersebut.
c. Macam-macam boneka
            Boneka yang digunakan dalam pementasan sandiwara boneka terdiri dari bermacam-macam bentuk dan cara penggunaannya. Menurut Bromley jenis-jenis boneka adalah finger puppet, glove puppet, stick puppet, styrofoam ball puppet, box puppet, sock puppet, shadow puppet, rubber ball puppet, dan human board puppet.[64]
            Finger puppet (boneka jari)terbuat dari bahan halus yang dapat dimasukkan ke dalam jari-jari tangan. Glove puppet (boneka sarung tangan) adalah boneka yang terbuat dari sarung tangan yang di ujung jari-jarinya terbentuk aneka tokoh yang dapat berupa binatang atau tokoh-tokoh lainnya. Stick puppet atau (boneka tongkat) terbuat dari karton yang dikaitkan di tongkat panjang. Stryrofoam ball puppet boneka yang terbuat dari sterofom. Box puppet (boneka kotak) boneka yang terbuat dari kotak yang sudah tidak terpakai lagi. Sock puppet (boneka kaos kaki) boneka ini terbuat dari kaos kaki yang diujungnya berbentuk macam-macam tokoh. Shadow puppet (boneka bayangan) adalah boneka yang terbuat dari tongkat kosong yang diberi lubang pada wajah untuk memainkannya.
            Senada dengan hal di atas maka macam-macam boneka menurut Petter cara pemakaiannya yaitu: hand puppets (boneka tangan), glove finger puppets (boneka jari), rod puppets (boneka kayu), marionette (boneka tali).[65]Hand puppets (boneka tangan) umumnya hanya bagian kepala dan pakaian yang longgar untuk menutup tangan dalang dan membantu tangan dalang dari penonton. Jari telunjuk terletak di kepala boneka ibu jari serta jari tengah mendorong ke dalam lengan baju agar dapat digerakkan. Boneka tangan ini digerakkan dari bawah panggung jika menggunakan panggung boneka.
            Glove finger puppet (boneka jari), boneka ini dapat dibuat dengan menggunakan sarung tangan yang digunting hanya pada bagian jari telunjuk dan jari tengah saja yang kemudian ditempelkan. Untuk bagian kepala dapat menggunakan potongan gambar kemudian ditempelkan pada bagian atas kedua jari tadi. Rod puppet (boneka kayu) dibuat dari kayu dengan bagian-bagian badan yang merupakam bagian dari kayu. Boneka kayu digerakkan dari bagian bawah dengan cara menggerakkan kayu-kayu yang menghubungkan bagian tubuh dari boneka tersebut. Contohnya wayang golek. Marionette (boneka tali) digerakkan oleh dalang yang berbeda di belakang dan di atas panggung dengan cara menarik-narik barang yang menghubungkannya dengan anggota badan dari kepala boneka tersebut.
            Menjadi seorang guru untuk anak usia dini diperlukan ketrampilan untuk dapat memanfaatkan barang-barang bekas untuk dapat dijadikan media dalam pembelajaran. Begitu juga dengan barang-barang bekas yang dapat digunakan menjadi boneka. Contohnya kaos kaki dan sarung tangan bekas bisa menjadi sebuah boneka dengan diberi mata. Piring kertas bekas tempat makan, kardus telur juga bisa dijadikan boneka yang menarik bagi anak.[66]
            Berdasarkan beberapa pengertian yang diungkapkan oleh para tokoh tentang macam-macam boneka, maka dapat dideskripsikan bahwa banyak bentuk boneka yang dapat digunakan dalam melakukan kegiatan bercerita. Salah satunya adalah kegiatan bercerita yang dapat menggunakan boneka tangan. Bentuk boneka dengan bentuk sebagian dalam arti hanya wajah dan kedua tangan, yang digunakan oleh dalang dengan memasukkan tangan ke dalam boneka tangan tersebut. Bentuk-bentuk boneka tangan bisa berupa bentuk ayah, ibu, kakak, adik, dll. Juga bisa berupa binatang tiruan seperti bebek, ayam, burung, kucing, dll. Dengan membawakan karakter masing-masing dalam setiap cerita.
d. Tujuan bercerita dengan boneka tangan
            Bercerita dengan boneka tangan merupakan metode yang tepat digunakan dalam pendidikan di taman kanak-kanak. Metode bercerita dengan boneka tangan dapat memberikan hubungan kedekatan antara guru dengan anak, sehingga dengan mudah menyisipkan pesan moral kepada anak untuk membentuk nilai moral anak, perkembangan emosi dan dapat mengembangkan aspek lainnya.
            Hal ini sesuai dengan yang dikatakan Moeslichatoen bahwa dalam kegiatan bercerita anak dibimbing untuk mengembangkan kemampuam untuk mendengarkan yang bertujuan untuk memberikan informasi atau menanamkan nilai-nilai sosial, moral,dan keagamaan, pemberian informasi tentang lingkungan fisik dan lingkungan sosial.[67]
            Pernyataan ini dapat diartikan bahwa tujuan dari kegiatan bercerita tidak hanya mengembangkan salah satu aspek kecerdasan anak saja tetapi dari segi emosi, moral, dan pemberian informasi dari lingkungannya. Maksud dari pemberian informasi dari lingkungannya adalah bagaimana anak belajar tentang lingkungan fisik di sekitarnya selain manusia misalkan binatang, kejadian di rumah dan lain sebagainya.
            Senada dengan hal di atas menurut Gunarti adapun tujuan dari metode bercerita adalah sebagai berikut: (1)Mengembangkan kemampuan berbahasa, (2) Mengembangkan kemampuan berbahasa, (3)Menanamkan pesan-pesan moral, (4)Mengembangkan kepekaan sosial emosional anak, (5) melatih daya ingat, (6) mengembangkan potensi kreatif anak melalui keragaman ide cerita yang dituturkan.[68]
            Pendapat ini dapat didefinisikan bahwa banyak sekali terdapat tujuan dari metode bercerita yakni akan mengembangkan kemampuan berbahasa anak, karena dengan bercerita anak akan mendengarkan dengan baik dan anak akan menerima banyak kosa kata baru yang diceritakan oleh guru, juga dapat mengembangkan pesan moral yang terkandung di dalamnya contoh ketika dalam bercerita guru menyisipkan nilai moral tentang menolong maka nilai moral tersebut yang akan di internalisasikan dalam dirinya sehingga terbentuklah sikap yang baik dalam diri anak yang disetujui oleh lingkungan sosialnya.
            Pendapat tersebut dikuatkan dengan teori yang oleh Petty dan Jensen bahwa puppetery gives children an emotional outlet, for the very imaginative child, puppets are an excellent vehicle of self expressions and many children use pupets as friends who can both listen and talk.[69]Hal ini dapat diartikan bahwa metode bercerita dengan boneka dapat juga memacu kondisi emosional anak, untuk beberapa anak yang sangat imajinatif, bercerita dengan boneka adalah sarana yang luar biasa untuk mengekspresikan diri. Banyak anak yang menjadikan boneka sebagai teman berbicara dan teman untuk mendengarkan.
            Berdasarkan beberapa pendapat dari tokoh di atas maka dapat dideskripsikan bahwa tujuan bercerita dengan boneka tangan adalah untuk memberikan informasi kepada anak dalam menanamkan nilai-nilai moral, sosial emosi, mengembangkan kemampuan berbahasa, melatih daya ingat, mengasah daya berpikir anak.
e.  Langkah-langkah Pelaksanaan Bercerita dengan Boneka Tangan
            Sebelum kegiatan bercerita dimulai, guru harus melakukan beberapa persiapan. Persiapan yang baik sangat menentukan kelancaran dalam kegiatan bercerita, juga untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan ketika kegiatan berlangsung, seperti menghindari kekacauan pada anak dalam menyimak cerita.
            Adapun langkah-langkah pelaksanaan kegiatan bercerita dengan boneka tangan menurut Suryani bahwa bercerita dengan menggunakan boneka tangan adalah kegiatan bercerita dengan menggunakan alat tidak langsung.[70] Karena kegiatan bercerita menggunakan alat-alat tiruan seperti binatang tiruan, orang tiruan, dan lain-lain. Adapun langkah-langkah yang harus dilakukan oleh seseorang guru dalam melakukan kegiatan bercerita dengan boneka tangan meliputi: (1) Siapkan segala perlengkapan yang akan digunakan, boneka, panggung kecil, tape recorder(2) Mengatur posisi duduk anak agar anak merasa nyaman, (3) Mengemukakan kalimat prolog sebelum adegan cerita dimulai diiringi musik pengiring sambil menyebutkan isi cerita(4) Apabila mengunakan panggung, maka bukalah layar panggung kemudiam kenali tokoh boneka satu persatu, (5) Memulai adegan demi adegan yang diperankan oleh boneka tersebut secara bergantian, diiringi dengan musik pengiring. Ketika suatu adegan akan berganti dengan adegan lain, tutuplah layar kembali dan turunkan boneka dari arah kanan ke kiri dan sebalinya, boneka tidak diturunkan dari atas ke bawah seolah-olah tenggelam (6) Ketika cerita sudah selesai dituturkan, guru dapat mengemukakan beberapa pertanyaan seputar cerita tersebut, misalnya tentang judul cerita, tokoh ceritadan isi cerita. Bisa juga meminta pendapat anak tentang cerita tersebut. Dapat pula agar anak memperagakan karakter suatu tokoh atau suatu kejadian dengan cerita tersebut, (7) Selanjutnya bersama-sama dengan anak-anak menyimpulkan isi cerita tersebut, termasuk pelajaran dari isi cerita juga mencari solusi terbaik dari permasalahan yang ada dalam cerita tersebut, (8) Akhiri kegiatan cerita dengan meminta anak untuk menceritakan kembali isi cerita dan tutup kegiatan dengan nyanyian yang menggambarkan isi cerita tersebut.
            Berdasarkan pendapat tersebut maka dapat dideskripsikan bahwa pelaksanaan metode bercerita dengan boneka tangan dapat dilakukan melalui tiga kegiatan yakni kegiatan pembuka, inti dan penutup
            Kegiatan pembuka dapat dilakukan dengan menyiapkan alat-alat (boneka) yang diperlukan, membaca doa sebelum kegiatan, mengatur posisi duduk anak, menyampaikan peraturan permainan kepada anak sebelum cerita dimulai, menyampaikan judul cerita. Kegiatan inti dapat dilakukan dengan memperkenalkan tokoh-tokoh boneka yang akan diperankan, memulai kegiatan bercerita dengan boneka tangan. Kegiatan penutup dapat dilakukan dengan menyimpulkan isi cerita, memberikan beberapa pertanyaan yang dilontarkan kepada anak tentang pesan moral yang disampaikan.

C.   Penelitian yang Relevan
Adapun hasil-hasil penelitian yang dianggap relevan oleh peneliti adalah penelitian-penelitian yang berkaitan dengan nilai-nilai moral dan metode bercerita.
Penelitian yang berkaitan dengan perilaku moral yaitu penelitian oleh Fifin Anetta, pendidikan Anak Usia Dini melalui penelitiannya yang berjudul Peningkatan Perilaku Moral Melalui Strategi Pembelajaran Karakter Pada Anak Usia Dini (Penelitian Tindakan pada Anak Usia 4-5 tahun di Komimo Playschool Cilangkap, Jakarta Timur )merupakan mahasiswa Universitas Negeri Jakarta, 2013.[71] Adapun hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa strategi pembelajaran karakter yang dilakukan dalam kegiatan bermain dan penanaman karakter ‘ala anak’ yang dapat mengasah pemahaman dan kepekaan moral anak dan memudahkan anak  melakukan perilaku mandiri dan disiplin. Terdapat peningkatan perilaku yang signifikan sebelum dan sesudah tindakan. Implikasi dari penggunaan diharapkan berdampak bagi peningkatan nilai-nilai moral bagi pembentukan karakter yang relevan sesuai dengan situasi kondisi anak usia dini.
Adapun hasil penelitian lain yang berhubungan dengan metode bercerita yang relevan adalah penelitian Chairul Amriyah, melalui penelitiannya yang berjudul Upaya Meningkatkan Kecerdasan Emosional Anak Melalui Metode Bercerita (Penelitian Tindakan pada TK Al-Hikmah Lampung) Merupakan mahasiswa Universitas Negeri Jakarta, 2007.[72] Adapun hasil penelitiannya adalah terdapat pengaruh positive signifikan antara peningkatan kecerdasan emosional dengan metode bercerita. Setelah melihat hasil pengamatan yang dilakukan oleh peneliti, kolaborator serta diadakan refleksi disimpulkan bahwa pada siklus ketiga penguasaan kemampuan sosial emosional anak telah mencapai sesuai dengan kriteria yang ditetapkan yaitu anak menguasai kemampuan sosial emosional yang diajarkan  ditandai dengan dapat berinteraksi dengan orang lain, dapat mengenal disiplin, dapat menunjuk reaksi emosi yang wajar dapat menjaga keamanan diri, dan dapat berempati. Dalam pelaksanaan pengembangan kemampuan sosial emosional tersebut bahan, atau metode dan teknik penyajiannya perlu disesuaikan dengan situasi dan lingkungan setempat. Dengan demikian apa yang menjadi fokus perhatian penelitian yaitu meningkatkan kecerdasaan emosional anak telah tercapai sesuai dengan tujuan, permasalahan yang ditemukan pada saat praobservasi telah dapat teratasi.
Hasil penelitian lain yang berhubungan dengan metode bercerita yang relevan adalah penelitian Sri Rejeki, melalui penelitiannya yang berjudul Peningkatan Kemampuan Menyimak Melalui Metode Bercerita (Penelitian Tindakan di SD Islam Terpadu Insan Mandiri kela II Jakarta)merupakan mahasiswi Universitas Negeri Jakarta, 2009.[73] Adapun hasil penelitiannya adalah Ada perbedaan yang positive signifikan dalam kemampuan menyimak anak antara sebelum dan sesudah diberikan tindakan penelitian. Untuk meningkatkan kemampuan menyimak dalam pelajaran bahasa Indonesia khususnya mendengarkan cerita. Terutama pertama pada aspek kognitif yaitu menyebut nama tokoh yang ada dalam dongeng, mengingat fakta kejadian tentang tempat dan waktu, mengingat urutan cerita, menganalisa cerita, menginterpretasi cerita, mengelaborasi isi cerita dan mengevaluasi isi cerita. Aspek afektif yaitu mendengarkan dengan seksama, duduk tenang, kontak mata, dan minat pada cerita. Ketiga aspek psikomotor yaitu mengajukan dan menjawab pertanyaan, berani menceritakan kembali, menuliskan kembali cerita, dan tertarik atau menggunakan media atau alat peraga lain. Ketiga aspek pada kemampuan menyimak dapat ditingkatkan dengan menggunakan metode cerita. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa melalui metode bercerita dapat meningkatkan kemampuan menyimak anak.
Hasil penelitian lain yang berhubungan dengan metode bercerita yang relevan adalah penelitian Khamidun, melalui penelitiannya yang berjudul Peningkatan Perilaku Berwawasan Lingkungan Anak Usia Dini melalui metode Bercerita (Penelitian Tindakan di TK alazhar 23 salatiga tahun 2010) mahasiswa Universitas Negeri Jakarta, 2011.[74] Adapun hasil penelitiannya adalah terdapat peningkatan yang signifikan pada pembiasaan perilaku berwawasan lingkungan anak usia dini melalui metode bercerita dari sebelum dan sesudah tindakan.Dengan pembelajaran melalui metode bercerita secara bervariasi dan bimbingan serta penguatan yang intensif maka akan terjadi peningkatan pembiasaan perilaku berwawasan lingkungan pada anak usia dini.Setiap metode bercerita memiliki karakteristik yang berbeda dan oleh karenanya penerapannya sebaiknya dilakukan secara bervariasi sesuai dengan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai.



[1]     Arikunto dkk, PenelitianTindakan Kelas(Jakarta: Bumi Aksara, 2012), h.3
[2]   Kunandar, Langkah Mudah Penelitian Tindakan Kelas Sebagai Pengembangan Profesi Guru(Jakarta : PT Rajagrafindo, 2013), h.42
[3]   Ibid., h.43
[4]   Ibid.,
[5]   JB.Watson, Teori Psikologi Sosial (Jakarta: Gunung Mulia,1999), h.15
[6]   Farozin dan Fathiyah, Pemahaman Tingkah Laku (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), h.75
[7]Garry Martin and Joseph Pear, Behavior Modication What it is and how to do it (New York: Prentice Hell International, 1988), h.3

[8]JB. Watson, Teori Psikologi Sosial (Jakarta: Gunung Mulia, 1999), h.15
[9]   Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak (Bandung: Rosda, 2000), h.132
[10]  Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Karaker Perspektif Islam (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,2011), h.9
[11]  Singgih Gunarsa, Dasar Dan Teori Perkembangan Anak (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1990), h.195
[12]  S. Nasution, Kurikulum Dan Pengajaran (Jakarta: Bumi Aksara, 1995),h.133
[13]  Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter (Jakarta: Kencana Pranada Media Group, 2011), h.33
[14]  John W Santrock, Child Development (Ninth Editions), h.420
[15]  Linda Eyre & Richard Eyre, Mengajarkan Nilai-Nilai Dalam Diri Anak (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama 1995), h. xiv
[16]  Philip G Zimbardo, Psycology And Life (London: Scoof Foresmen And Company, 1985), h.61
[17]  William Damon, The Moral Child (Canada, 1990), h.1
[18]  Bambang Sujiono dan Yuliani Nurani Sujiono, Mencerdaskan Perilaku Anak Usia Dini (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2005), h. 6
[19]  Aunorrohman, Belajar Dan Pembelajaran (Bandung: Alfabeta, 2009), h.61
[20]  Roger Brown, Sosial Psychology, (New York: Free Press, 1965), h. 407
[21]  John W Santrock, Life Span Development (Jakarta: Erlangga, 1995), h.287-289
[22]  Aunurrohman, Op Cit, h.58
[23]  William Crain, Teori Perkembangan Konsep Dan Aplikasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), h. 302
[24]  Desmita, Psikologi Perkembangan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), h.149
[25]  John W Santrock, Op Cit., h.289
[26]  Edy Gustian, Mempersiapkan Anak Masuk Sekolah, (Jakarta: Puspawara, 2001), h.2
[27]  Laura E berk, Child Development, (Boston: Pearson Educatiions, 2006), h. 476
[28]  Sumardi Suryasubrata, Psikologi Pendidikan (Jakarta: PT Rajagrafindo Pustaka, 2002), h. 104
[29]  Martini Jamaris, Perkembangandan Pengembangan Anak Usia Taman Kanak-kanak (Jakarta: PPS UNJ, 2003), h.35
[30]  Ibid., h.37
[31]  Burhanudin Salam, Etika Individual Pola Dasar Filsafat Moral(Jakarta: Rieneka Cipta, 2002), h.67
[32]  Yuliani Nurani Sujiono dan Bambang Sujiono, Menu Pembelajaran Anak Usia Dini (Jakarta: Citra Pendidikan, 2005), h.150
[33]  Sri Esti Djiwandono, Psikologi Pendidikan (Jakarta: Grasindo, 2002), h. 81
[34]  John W Santrock, Op Cit., h.287
[35] Tim Pustaka Familia, Membuat Prioritas-Melatih Anak Mandiri (Yogyakarta: Kanisius, 2006). H.45
[36] Enung Fatimah, Psikologi perkembangan (Perkembangan Peserta Didik) (Bandung:Pustaka Setia, 2008), h.142
[37] Pam Schiller dan Tamera Bryant, 16 Moral Dasar bagi Anak (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2002), h.76
[38]  Suryadi, Memahami Perilaku Anak  Usia  Dini (Jakarta: Edsa Mahkota, 2007), h.75-76
[40]Suryo Subroto, Proses Belajar Mengajar di Sekolah (Jakarta:PT Rineka Cipta,2009) h.141
[41]  Moeslichatoen, Metode Pengajaran di Taman Kanak-kanak (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), h.26
[42]  Musfiroh Tadkiroatun, Memilih Menyusun dan Menyajikan Cerita untuk Anak Usia Dini (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008), h.31
[43]  Claire Jennings, Children as Story-tellers (Melbourne:Oxford University Press, 1991),h. 10
[44]  Ute Lies Khadijah, Laporan Penelitian Studi tentang Kegiatan Bercerita di kalangan orang tua dan Pengaruhnya terhadap Sikap Positif Anak tentang kegiatan membaca, (Bandung: Universitas Padjajaran , 2006),h.9
[45]  Ibid.,
[46]  Ibid.,
[47] Ahmad Rohani, Media Instruksional Edukatif (Jakarta: Rieneka Cipta, 1997)., p.20
[48] Moeslichatoen, op.cit., h.159
[49] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Metodik khusus Pengembangan Kemampuan Berbahasa di Taman Kanak-kanak (Jakarta: Depdikbud, 1988)h.44
[50] Ibid., h.22
[51] Vitria Yulianingsih, op.cit., h.39
[52] John D. Latuhuru, Media Pengajaran dalam Proses Belajar Masa Kini (Jakarta:Depdikbud, 1988) h.13
[53] Charles D. Gaitskell,  Children and Their art (third editor) (New york: harcourt brace javanovich, 1975)h.75
[54] George W. Maxing, (California: A Devisinof Waworth, inc, 1980)h.306
[55] Linderman, Earl.w. Arts and Craft for The Classroom, (New york, 1977) h.165
[56] Mal, The Power of Storrytelling (Jakarta: Luxima Metro Media,2009) h.33
[57] Mikael Keefer, Drama Boneka Instan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), h.3

[58] Walter t.Petty and Julie M.Jensen, Developing Children’s Language, (New York,1975) h. 316
[59] A.l. simanjuntak, Seni Bercerita, (Jakarta;BPK Gunung Mulia, 2008)h.86-87
[60] Moeslichatoen,Op.Cit, h.159
[61]  Kusumo Priyono, Terampil Mendongeng (Jakarta: Grasindo, 2006)h.28
[62]Ibid.,h,29
[63] Ma’ruf Musthafa, Sukses Mendidik Anak (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2002). h.86
[64] Karen D Angelo Bromley, Language Arts: Exploring Connections Second Edition (New York: Simon & Schuster, 1992)p.94
[65] Peter Freaser, Puppets And Puppetery (London: BT bastfrod LTD, 1980)., p.9
[66] Mary Renck Jalongo, Early Childhood Language Arts (New York: Pearson Education Inc, 2007), p.123
[67] Moeslichatoen, Metode Pengajaran di Taman Kanak-kanak (Jakarta: Rieneka Cipta, 2004), p.170
[68] Moeslichatoen, Metode Pengajaran di Taman Kanak-Kanak, (Jakarta: Rieneka Cipta, 2004), p.170
[69] Petty and Jensen, Developing Children Language (Boston Allynand Bacon, 1980), p.316
[70] Winda Gunarti dan Lilies Suryani, Metode Pengajaran Perilaku dan Kemampuan Dasar Anak Usia Dini (Jakarta: Universitas Terbuka, 2008), p.5.21
[71]  FifinAnetta, Penelitian Tindakan pada Anak Usia 4-5 tahun di Komimo Playschool Cilangkap, 2013
[72]  ChairulAmriyah, Upaya Meningkatkan Kecerdasan Emosional Anak Melalui Metode Bercerita (Penelitian Tindakan pada TK Al-Hikmah, Lampung), 2007
[73]  Sri Rejeki, Peningkatan Kemampuan Menyimak Melalui Metode Bercerita (Penelitian Tindakan di SD Islam Terpadu Insan Mandiri kela II Jakarta), 2009
[74]  Khamidun, Peningkatan Perilaku Berwawasan Lingkungan Anak Usia Dini melalui Metode Bercerita (Penelitian Tindakan di TK alazhar 23 Salatiga), 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar